BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Di Indonessia ternak kambing sebagian
besar dipelihara oleh peternak kecil di pedesaan. Pemeliharaan ternak kambing
tersebut dilakukan sebagai bagian usaha tani dan dikelola secara sederhana dan
tradisional. Ternak kambing merupakan ternak ruminansia kecil yang dipelihara
oleh masyarakat petani peternak secara luas, karena sanggup memberikan
keuntungan ekonomi yang sangat berharga. Pemeliharaan ternak kambing sangat
mudah, hanya diperlukan modal yang relatif kecil dibanding dengan ternak
ruminansia lainnya, seperti sapi, kerbau dan sebagainya, serta tenaga kerja
yang dibutuhkan sedikit (Sumoprastowo, 1980).
Nusa Tenggara Barat merupakan salah satu
provinsi sentra peroduksi ternak di Indonesia. Selain bertani dan berkebun
masyarakat juga memanfaatkan lahan untuk beternak. Ternak kambing merupakan
salah satu ternak yang terintegrasi dengan sistem usaha tani yang sangat mudah
dan praktis untuk dikelola, terutama dikalangan petani yang memiliki lahan
terbatas. Populasi ternak kambing yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Barat,
pada tahun 2009 sebanyak 439.989 ekor, tersebar di berbagai kota dan kabupaten.
Populasi ternak kambing di Nusa Tengggara
Barat dari tahun 2009 s/d 2012 sangat berkembang pesat mencapai 627.283 ekor, seiring
dengan adanya program pemerintah yang memberikan bantuan kelompok, yang bertujuan untuk
mensejahterakan masyarakat serta meningkatkan populasi ternak kambing. Populasi
ternak kambing di kabupaten Lombok Barat sebanyak 40.297 ekor.
Sumoprastowo (1980) menyatakan, bahwa
kambing yang ada sekarang diperkirakan merupakan keturunan dari jenis kambing
liar yang berasal dari Kasmir, Pakistan, Turki dan Balkan yang telah mengalami
penyusaian bentuk luar tubuh ternak terhadap lingkungan. Saat ini dikenal berbagai macam tipe kambing, seperti kambing
pedaging dan kambing penghasil susu (perah). Kambing kacang merupakan kambing
asli Indonesia, yang memiliki ciri-ciri seperti badan kecil, lincah, warna bulu
tidak seragam (hitam, putih, cokelat atau kombinasi warna tersebut), kepala
ringan, telinga agak pendek, tanduk agak melengkung. Jenis kambing ini sangat
digemari oleh masyarakat, karena cepat berkembang biak dengan jumlah anak
setiap kelahiran (Litter Size) bisa
lebih dari satu ekor dan jarak kelahiran (Kiddling
Interval) relatif pendek.
Di Kecamatan Lembar, Kabupaten Lombok
Barat dengan iklim curah hujan yang bagus dan kondisi alamnya yang sangat baik
untuk lokasi pemeliharaan ternak kambing. Ternak kambing yang paling digemari
adalah kambing kacang. Dan akhir-akhir ini baru mulai didatangkan kambing
peranakan dari luar daerah.
Dalam upaya meningkatkan jumlah populasi
kambing di Lembar, ada suatu kendala yang dihadapi petani petrnak yaitu adanya
ancaman penyakit parasit yang sewaktu-waktu dapat menggangu kesehatan ternak, sehingga
produktifitasnya menurun. Bila hal tersebut tidak mendapat perhatian yang lebih
serius, khususnya mengenai pencegahan, pengendalian dan pemberantasannya,
sehingga mengurangi dan menimbulkan kerugian yang cukup besar. Salah satu
penyakt Parasiter yang menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup penting adalah Haemonchiasis yang disebabkan oleh
cacing Haemonchus contortus (Levine
1990). Penyakit ini sering mendatangkan kerugian yang cukup besar walaupun
jarang menyebabkan kematian. Haemonchus
contortus hidup didalam usus kambing, tetapi tidak jarang pula ditemukan
pada domba, sapi serta golongan ruminansia lainnya. Cacing ini mudah dijumpai
dalam rongga abomasum atau menempel pada dindingnya (LBN LIPI, 1983).
Kehidupan parasit di luar tubuh ternak
sangat dipengaruhi oleh cuaca. Udara yang lembab dan hangat sangat cocok untuk
perkembangan parasit (Kusumamihardja dan Atmowisastro, 1985). Menurut Sood
(1981) kejadian Haemonchosis di lapangan cendrung dipengaruhi oleh perubahan
musim, dimana infestasi di musim gugur > musim panas >
musim dingin > musim semi. Selain tiu menurut Kusumamihardja (1982) peluang
infestasi oleh larva infektif banyak terjadi pada pagi hari dimana pengaruh
panas matahari belum begitu berarti.
Peluang penularan ini dari pagi sampai sore akan menurun menurut urutan
waktu pagi > sore > siang.
Haemochiasis memiliki ciri atau gejala klinis seperti menurunnya berat badan, lemah
dan kepucatan dari selaput lendir. Jika terdapat cukup banyak cacing didalam
tubuh maka kambing yang terserang memperlihatkan gejala anemia berat,
kekurusan, oedema dimana-mana dan mengalami gangguan saluran pencernaan yang
dapat menyebabkan kebengkakan yang jelas dibawah rahang yang disebut bottle-jow dan gusinya tampak
pucat dan hampir tak berisi darah. Jika dilakukan tindakan bedah bangkai selaput lendir usus kelihatan membengkak
dengan perdarahan ptekia, dapat
ditemukan keropeng-keropeng dangkal dan menjadi lebih rentan terhadap agen-agen
infeksius yang lain (Levine, 1990).
Haemonchiasis adalah salah satu penyakit parasit yang penting pada ternak
kambing di seluruh wilayah Indonesia, walaupun intensitas kejadiaanya
berbeda-beda menurut daerah. Kerugian yang ditimbulkan oleh penyakit ini adalah
menurunnya produktifitas hewan, berat badan menurun, diare dan dapat mengalami
gangguan pencernaan umum bahkan pada kasus yang berat dapat mengakibatkan
kematian, karena banyak kehilangan darah oleh infeksi parasit tersebut (Putra,
1997).
Menurut Levine (1990) tingkat kejadian
penyakit akibat infeksi cacing Haemonchus
sp. sangat tergantung pada banyaknya larva yang masuk ke dalam tubuh dan
kondisi ternak itu sendiri. Namun yang jelas infeksi cacing Haemonchus sp. ini merupakan infeksi
yang kronis (menahun) dan penderita mengalami kehilangan banyak darah (jumlah
eritrosit menurun) dan gizi, pertumbuhan lambat, berat badan menurun, dan
timbul peradangan pada lambung. Hasil survei di beberapa pasar hewan di Indonesia
menunjukkan bahwa 90% teernak kambing
terinfeksi cacing, baik cacing lambung (Haemonchus
contortus), cacing hati (Fasciola
hepatica/gigantika), cacing gelang (Neoaskaris
vitulorum), (Abidin, 2002)
Sisteim peternakan di Nusa Tenggara
Barat, khususnya di Pulau Lombok sebagian besar dengan sistem pengembalaan.
Begitu juga halnya pemeliharaan ternak kambing di kecamatan Lembar, ternak
digembalakan pada siang hari dan dikandangkahn pada malam hari. Pengembalaan
dilakukan ditanah lapang umum, sepanjang tepi jalan, selokan atau pematang
sawah dan di bawah tanaman perkebunan atau kadang-kadang pada lahan yang
sengaja ditanami rumput (Carmichael, 1993). Kambing terinfeksi oleh cacing Haemonchus sp. karena menelan larva pada
saat ternak merumput pada kondisi lapangan lembab akibat embun atau hujan dan
suhu pada saat itu optimum untuk penetasan telur dan pertumbuhan larva cacing
(Kusumamihardja dan Lili Zalizar, 1992).
Kabupaten Lombok Barat merupakan salah
satu kabupaten di Nusa Tenggara Barat yang memiliki curah hujan yang
bervariasi, termasuk didalamnya adalah Kecamatan Lembar. Curah hujan sebanyak 5
cm (2 inci) atau lebih, disertai dengan suhu maksimum rata-rata bulanan diatas
18% (65⁰F) dapat memberikan kondisi yang optimal
bagi penularan Haemoncus sp. dipadang
rumput. Perbedaan geografis daerah terutama curah hujan, letak geografis dan
banyaknya tumbuh-tumbuhan sangat
berpengaruh terhadap perkembangan siklus hidup dan ketahanan hidup larva
(Levine, 1990).
Berdasarkan uraian tersebut di atas di
Kecamatan Lembar perlu mendapat perhatian yang serius. Hal ini didukung dengan
adanya populasi ternak kambing yang cukup tinggi terutama ternak kambing kacang
dengan kendala yang dihadapi, terutama adalah permasalahan tentang beberapa
penyakit salah satunya penyakit yang disebabkan oleh parasit yaitu Haemonchiasis. Haemonchiasis ini sangat erat hubungannya dengan
menurunnya produktifitas ternak serta gejala anemia atau menurunnya sel darah
merah (eritrosit) karena merupakan
golongan cacing penghisap darah.
Informasi tentang hubungan antara jumlah
telur cacing Haemonchus sp. dengan sel
darah putih dan PCV pada kambing Kacang, belum pernah dilaporkan, maka peneliti
sangat tertarik untuk melakukan penelitian.
1.2. Rumusan Masalah
Apakah ada hubungan antara jumlah telur
cacing Haemonchus sp. Dengan jumlah
sel darah putih dan PCV pada Kambing kacang, di Kecamatan Lembar, Kabupaten
Lombok Barat
1.3. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui hubungan antara jumlah
telur cacing Haemonchus sp. dengan sel
dsarah putih dan PCV pada kambing Kacang, di Kecamatan Lembar, Kabupaten Lombok
Barat.
1.4.Manfaat Penelitian
1.4.1.
Bagi Profesi
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
menjadi evaluasi dan tambahan ilmu, baik penerapan secara langsung maupun dalam
pelaksanaan kesehatan hewan dan dibidang masyarakat veteriner.
1.4.2.
Bagi Peternak dan Masayarakat
Hasil penelitian ini dijadikan sebagai rujukan dan media informasi
bagi masyarakat dan petani peternak kambing, Sehingga dengan informasi tersebut
dapat melakukan tindakan pencegahan dan pengobatan terhadap infeksi parasit
tersebut.
1.4.3.
Bagi Peneliti Selanjutnya
Keluaran dari penelitian ini diharapkan
dapat memberikan informasi atau gambaran untuk pengembangan penelitian
selanjutnya.
1.4.4.
Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan menjadi
bahan masukan untuk mata kuliah Epidemiiologi, Imunologi Veteriner, Pathologi
klinik, terutama mata kuliah penyakit Parasit, sebagai bahan ajar atau referensi
tugas mahasiswa Kedokteran Hewan.
1.4.5.
Manfaat Teknis
Memberikan informasi kepada para
pemegang kebijakan bersama instansi terkait dan praktik lapangan tentang cara
mencegah dan menanggulangi secara efektif terhadap penyakit yang disebabkan
oleh Haemonchus sp.
1.5. Kerangka Berfikir
Iklim di Kecamatan Lembar sangat
menunjang adanya populasi ternak kambing Kacang yang cukup tinggi. Populasi
ternak Kambing di Nusa Tenggara Barat, dicatat oleh Biro Pusat Statistik
sebanyak 627.283 ekor, yang tersebar di berbagai desa, tak terkecuali di
Kecamatan Lembar, populasi ternak kambingnya sebanyak 7.046 ekor.
Ternak kambing Kacang perlu mendapat
perhatian yang serius apalagi sebagian petani ternaknya mempunyai suatu kendala
dalam pemeliharaan, salah satunya adalah penyakit yang sewaktu-waktu dapat
menggangu kesehatan ternak dan kerugian ekonomi bagi petani peternak itu
sendiri, kendala atau masalah yang sering dialami adalah masalah penyakit parasiter
yaitu Haemonchiasis yang disebabkan
oleh Haemonchus contortus. Merupakan
parasit nematoda yang terpenting pada kambing di Indonesia (Berajaya, 1986).
Menurut Wargadipura dan Rumawas (1976)
haemonchosis merupakan penyakit yang bersifat endemis yang mengakibatkan
kerugian yang cukup besar, sedangkan menurut Angus (1978) infeksi yang
disebabkan Haemonchus contortus bersifat sporadik.
Tingkat prevalensi Haemonchus contortus cukup tinggi, yaitu dapat mencapai rata-rata
80% (Puslitbangnak, 1980). Selanjutnya Chotiah
(1983) melaporkan bahwa prevalensi infestasi Haemonchus contortus pada kambing di Lampung tengah dan Lampung
selatan sebesar 86%, yang mengakibatkan 58% kambing mengalami kematian,
sedangkan kambing yang masih hidup mengalami kekurusan. Berdasarkan perhitungan
Direktorat Jendral Peternakan (1974), 67% dari populasi kambing Gejala klinis yang ditimbulkannya adalah produktifitas
ternak menurun, kehilangan bannyak darah, diare, kurus, adanya oedema dibawah
rahang.
Haemoncus sp. merupakan parasit cacing penghisap darah yang tinggal di
dalam abomasum kambing, dimana larvanya mampu menginfeksi melalui rumput yang
dibasahi oleh embun yang suhunya masih lembab. Karena kebiasaan masyarakat
mencari pakan pada pagi hari disaat rumput atau pakan belum kering larva
kemudian ikut tertelan bersama pakan ketika ternak merumput atau pada saat peternak
memberikan pakan ternaknya, sehinggga larva cacing tersebut ikut tertelan
bersama pakan dan akan berkembang menjadi cacing dewasa. Cacing akan merusak
selaput lendir lambung, yang bisa menyebabkan terjadinya defisiensi zat besi
dan anemia dengan ditandai menurunnya sel darah merah pada hari ke 19 pasca
infeksi (Putra, 1997).
Berdasarkan uraian yang diatas, penyebaran
Haemonchus sp. dipengaruhi oleh
keadaan lingkungan terutama suhu dan curah hujan, sehingga pendekatan
penangulangan penyakit ini dari landasan epidemiologi penyakit.
1.6. Hipotesis
Jumlah telur cacing Haemonchus
sp. Berkolerasi terhadap Jumlah
Sel Darah Putih dan PCV pada Kambing Kacang di Kecamatan Lembar.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kambing Kacang
Kambing Kacang merupakan kambing asli
Indonesia yang banyak dipelihara oleh masyarakat khususnya di Nusa Tenggara
Barat. Kambing Kacang adalah jenis kambing yang berbadan kecil dengan berat
badan pada yang jantan sekitar 30 Kg, sedangkan pada yang betina 20 - 2 5 Kg.
Baik yang jantan maupun yang betina mempunyai tanduk, tetapi relatif pendek, melengkung kebelakang dengan ujungnya
membengkok keluar. Bentuk hidungnya lurus, leher pendek dan pada jantan
berjenggot. Warna bermacam-macam, ada yang cokelat, hitam atau putih. Daun
telinga pendek berdiri tegak menggarah kedepan dan kesamping dan ada kalanya
ujungnya terkulai sedikit (Sumoprastowo, 1980).
Menurut Smith (1998), menyatakan bahwa
kambing telah dijinakkan sejak ribuan tahun yang lalu dan tulang-tulang hewan
ini telah ditemukan di dekat tempat tingal manusia zaman dahulu. Kambing adalah
hewan memamah biak penting di Indonesia dan dikenal ada empat bangsa kambing
yaitu: Kambing Marica, kambing Etawa, kambing Bali (kambing Gembrong), dan
Kambing Kacang. Kambing Kacang kacang merupakan jenis kambing yang tahan
terhadap keadaan lingkungan yang buruk dan sangat fertil, cepat dewasa.
Mencapai dewasa pada umur 6 bulan dan dapat beranak pertama kali pada umur
kurang lebih 12 bulan.
2.1.1.
Pakan
Pakan yang diberikan dapat terdiri dari
konsentrat dan dedak dengan perbandingan 1: 3 (Anonim 2013d). Pakan dasar
kambing dedaunan dan rerumputan serta akan tambahan berupa konsentrat (Gall
1981). Pakan tambahan dapat disusun dari bungkil kelapa, bungkil kedelai,
dedak, tepung ikan yang ditambah dengan vitamin dan mineral. Untuk pakan dasar
umumnya adalah daun kayangan, daun lamtoro, daun gamal, daun turi, daun nangka
dan lainnya. Pemberian hijauan sekitar 3% dari bobot tubuh (dasar bahan kering)
atau 10 – 15% bobot badan (dasar bahan
segar) (Dunn 1994)
2.1.2.
Perilaku
Didalam aslinya, kambing hidup
berkelompok 5 sampai 20 ekor. Dalam pengembaraannya mencari makanan, kelompok
kambing dipimpin oleh kambing betina yang paling tua sedangkan kambing jantan
berperan sebagai penjaga keamanan rombongan. Waktu aktif mencari makan
dilakukan pada siang maupun malam hari (Anonim 2013).
2.2. Cacing Haemonchus sp. Pada kambing
2.2.1.
Etiologi
Soulsby (1982) menyatakan bahwa
haemonchiasis pada kambing disebabkan oleh Haemonchus
contortus (Rudolphi, 1803). Haemonchus
contortus termasuk super famili Trichostrongyloidea (Cram, 1927).
Famili Trichosstrongylidae (Leiper. 1912).
Haemonchus contortus merupakan cacing kawat yang tinggal di dalam abomasum Kambing, domba, sapi
serta golongan ruminansia lainnya. Nama lain cacing ini juga disebut “cacing
lambung”, “cacing kawat” dan “cacing
halus”.
Meskipun Trichostrongylidae mempunyai
bentuk dan ukuran kecil, namun demikian cukup berbahaya karena termasuk cacing
penghisap darah, sehingga ususnya berwarna merah yang dililiti oleh ovarium dan
uterus berwarna putih, ukurannya kecil dan halus seperti benang (Tricho=benang)
dengan panjang kira-kira 3 cm. Cacing betina ukurannya lebih besar dan panjang
dari yang jantan, kira-kira 1,5 kali ukuran cacing jantan (LBN LIPI. 1983).
Panjang cacing jantan
10 – 20 mm (Lapage. 1956: Levine, 1978)
sedangkan betina 18 – 30 mm (Lapage. 1956: Levine, 1978) tetapi menurut Marsh
(1958) panjang cacing betina 20 – 30 mm.
Cacing ini mempunyai lanset pada bagian
dorsal dari rongga mulut dan papila cervical berbentuk duri kira – kira 300 µ
dari ujung anterior. Cacing jantan mempunyai bursa yang berbntuk seperti
huruf Y dan spikula. Cacing betina
mempunyai ovarium dan uterus berwarna putih yang meliliti saluran pencernaan berwarna
merah, berekor kecil dan berujung runcing. Vulva ditutupi oleh penutup anterior
(Valvular flap) yang sering melebar dan terbuka
Levine (1990) bahwa Haemonchus
sp. merupakan cacing lambung yang besar disebut barbelpole. Cacing ini
menyerang berbagai umur, bentuknya seperti pilitan benang merah dan putih
karena berasal dari adanya ovarium yang berwarna putih dililiit oleh usus yang
berwarna merah sehingga dikenal dengan cacing merah. Cacing jantan mempunyai
panjang 10 – 20 mm dan berdiameter 400 mikron. Betinanya mempunyai panjang 18 –
30 mm dan berdiameter 500 mikron. Dengan telur berukuran 62-90 X 39 – 50
mikron. Haemonchus sp. adalah cacing
penghisap darah, setiap cacing dewasa menghisap 0,049 ml darah/hari. Clark
(Kusumamihardja & Lili Zalizar, 1992).
Pada infeksi berat oleh Haemoonchus sp. isi abdomen terlihat
sebagai masa cacing yang berjubel.Pada kambing yang dewasa, perhitungan telur
dalam tinja sejumlah 300 butir telur Haemchus
contortus setiap gram tinja (e.p.g) diduga terjadi infeksi ringan,
sedangkan lebih 30.000 butir telur pergram tinja menunjukkan terjadi infeksi
berat (Levine, 1990). Jumlah telur yang
dihasilkan oleh setiap cacing betina tergantung dari beberapa faktor sebagai
berikut: umur cacing, jumlah cacing yang ada, ransum induk semang dan status
kekebalan. Cacing Haemoncchus sp. dewasa
betina mempunyai kemampuan bertelur kira-kira 5.000 – 10.000 butir/hari
Haemonchus sp. pertama kali dilaporkan oleh Whitlock
pada tahun 1958. Haemonchus sp. merupakan
parasit patogenik yang penting pada kambing, domba, sapi dan ruminansia
lainnya. Pernah dilaporkan pada manusia di Brazilia dan Australia sebagai
parasit incidental, telurnya berbentuk bujur menyerupai telur cacing Tricostrongylus dan hanya dapat dibedakan
dengan pembiakan larvanya (Brown, 1990).
Gambar 1. Cacing dan Telur Cacing Haemoncus sp.
1. Cacing Haemonchus sp.
Gambar 1. Organ reproduksi cacing dewasa H. contortus. jantan
(A) dan betina (B). (V) vulva flap, (BK) Bursa Kopulatriks, (G) Gubernakulum
(S) Spikulum. Pewarnaan minya cengkeh. Pembesaran 10x10
2.
Telur Cacing Haemonchus
sp.
2.2.1. Sistematika/ Toksonomi
Cacing Haemonchus sp. dapat menyebabkan penyakit yang
disebut Haemonchiasis yaitu penyakit
parasit cacing gastrointestinal pada kambing, domba, sapi dan ternak ruminansia
lainnya. Secara toksonomi cacing Haemonchus
sp. digolongkan kedalam class Nematoda (Soulsby, 1968).. Haemonchus sp. kepalanya berdiameter
kurang dari 50 mikron, dengan kapsula bukal yang kecil beisi gigi yang ramping
atau lanset di dasarnya, dan mempunyai tiga mulut yang tidak menarik perhatian.
Terdapat papilla servikal yang jelas menyerupai bentuk duri. Spikuu
relatif pendek dan terdapat sebuah
gubernakulum.n Vulva terdapat dibagian posterior tubuh dan sering ditutupi oleh
cuping (Levine, 1990). Secara lengkap sistemika penggolongan cacing Haemonchus sp. adalah sebagai
berikut:
Phylum : Nemathelminthes
Class : Nematoda
Family : Haemonchus
Spesies : Haemonchus contortus
2.2.2. Epidemiologi
Kejadian penyakit ini selalu dihubungkan dengan sumber penyakit,
lingkungan dan induk semang. Haemonchosis muncul jika ke tiga faktor di atas
tidak seimbang, dan kambing terinfestasi larva infektif (Larva stadium ke tiga)
Haemonchus contortus ketika di
gembalakan di padang rumput. Menurut Bank (1958) infestasi parasit berlangsung
di lapangan pada saat anak kambing mulai
belajar merumput, mencapai puncak pada umur 5 – 6 bulan, kemudian menurun
karena meningkatnya kekebalan.
Infestasi parasit cacing sangat
dipengaruhi oleh daya tahan tubuh induk semang. Sedangkan daya tahan tubuh induk
semang dipengaruhi oleh kondisi tubuh, makanan dan factor umur (Lapage. 1956).
Menurut Moley dan Donald (1977: dealam Kusumamihardja, 1982). Factor – factor
yang mempengaruhi derajat infestasi nematode pada Kambing adalah; 1. Kepadatan
ternak, 2. Waktu refroduksi, terutama beranak dan menyapih, 3. Lamanya merumput
di satu lapangan termasuk penggiliran, 4. Penggantian jenis ternak yang
merumput atau dengan jenis yang sama tetapi kebal, 5. Penggunaan rumput kering
sebagai makanan tambahan, 6. Beberapa jenis ternak merumput bersama, 7.
Perbandingan antara jumlah ternak muda dan ternak tua, dan 8. Jenis rumputan
pokok di lapangan pengembalaan. Jika factor – factor tersebut tidak baik, maka
keseimbangan antara parasit dan induk semang akan terganggu sehingga hewan
menjadi sakit bahkan dapat mengakibatkan kematian.
Kehidupan parasit di luar tubuh
ternak sangat dipengaruhi oleh cuaca. Udara yang lembab dan hangat sangat cocok
untuk perkembangan parasit. Di pagi hari larva nematoda yang ada di pepucukan
rumput lebih banyak dari pada di siang hari dan sore hari jumlah ini naik lagi
tetapi tidak mencapai seperti jumlah pada pagi hari. Maka Kambing yang
digembalakan pada pagi hari akan menderita infeksi oleh Haemonchus contortus lebih
berat dari pada yang digembalakan pada siang maupun pada sore hari. Pada musim
hujan udara lembab dan mendung lebih lama dari pada musim kemarau, maka
adanya larva nematode di pepucukan
rerumputan akan lebih lama di musim hujan dari pada di musim kemarau
(Kusumamihardja dan Atmowisastro. 1985).
Blood dan Hendersoon (1979) menyatakan bahwa Haemonchosis merupakan
penyakit yang menyebabkan kerugian di Negara – negara tropis, terutama pada
musim hujan dimana suhu rata – rata diatas di atas 18 ⁰c dengan curah hujan lebih dari 52,2 mm setiap bulan. Indonesia sebagai salah satu
Negara tropis, di mana drajat kelembaban yang tinggi dan suhu udara yang
umumnya di atas 20 ⁰c sepanjang tahun (Kusumamihardja. 1982) member
suasana yang cocok untuk perkembangan optimum dari Haemoncus contortus pada fase
bebasnya. Beriajaya (1986) dan Kusumamihardja (1982) berpendapat bahwa
infestasi di musim hujan lebih tinggi dari pada di musim kemarau. Sedangkan di
daerah yang mempunyai 4 musim menurut Sood
(1981) Infestasi di musim gugur > musim panas > dingin > musim semi.
Haemonchiasis merupakan penyakit yang disebabkan oleh Nematoda Haemonchus sp. yang hidup didalam abomasum dan saluran pencernaan. Penyakitini umumnya menyerang
ternak ruminansia terutama kambing, domba dan sapi. Haemonchiasis pada kambing pada kambing dan domba terutama
disebabkan oleh Haemonchus contortus. Di daerah beriklim panas,
lembab, infeksi Haemonchus Contortus merupakan hal yang sangat
penting bagi perkembangan stadiumpreparasitik dan perjalanan larva ke
rerumputan. Pada daerah curah hujan yang berlebihan secara fisik akan
membersihkan larva dari padang pengembalaan, sehingga jumlah larva bagi ternak
berkurang, karena ternak kambing terinfeksi oleh cacing ini pada saat merumput
(Carmicael, 1993).
Timbulnya suatu penyakit dipengaruhi oleh banyak faktor dan ini
merupakan masalah yang sangat kompleks.
Dari sekitar faktor tersebut, secara umum paling tidak ada 3 faktor yang saling terkait untuk terjadinya suatu
penyakit yaitu: faktor agen penyakit, faktor hospes, dan faktor lingkungan (Dharma, 1997). Menurut Williamson dan Payne
(1968) menyatakan, bahwa iklim
mempengaruhi penyakit yang menyerang
ternak baik secara langsung maupun tidak langsung. Lebih lanjut diterangkan
pula, bahwa setiap daerah mempunyai iklim yang berbeda, masing-masing
dipengaruhi oleh faktor yang bersifat tetap
yaitu: luas daerah,tinggi tempat, distribusi lahan dan air, tanah dan topografi; sedangkan faktor yang tidak
tetap yaitu: aliran angin dan curah hujan. Dikatakan bahwa iklim
tersebutterdiri atas komponen suhu udara, kelembapan, awan, penyinaran, angin
dan tekanan udara.
Levine (1990), menyatakan bahwa factor lingkungan seperti suhu, curah
hujan, tanah yang lembab, tumbuh-tumbuhan dan factor yang serupa sangat mempengaruhi
perkembangan dari pada stadium larva cacing Haemonchus
sp. terhadap siklus eksternalnya. Suhu perkembangan larva sampai stadium
infektif pada suhu relatif rendah,
ternyata mengalami perhentian perkembanggan setelah larva menginfeksi induk
semang. Larva tidak berkembang menjadi dewasa selama beberapa bulan. Larva yang
berkembbang pada suhu yan relatif tinggi atau terjadi pada musim panas cepat
menjadi dewasa waktu kira-kira 3 minggu setelah larva menginfeksi kambing.
Cacing dewasa ini menyebabkan timbulnya gejala sakit pada akhir musim panas dan
pada musim gugur. Larva menginfeksi kambing pada akhir musim gugur, tetap
berada dalam stadium larva selama musim dingin dan tidak menjadi dewasa sampai
musimm semi. Suhu optimum untuk penetasan telur cacing Haemonchus sp. dan pertumbuhan
larva pada suhu 20 - 27⁰C (Crofton, 1954).
2.3.
Perubahan Patofisiologis Pada kambing
Akibat Infestasi Haemonchus Contortus
2.3.1. Gambaran darah
Darah merupakan salah satu komponen
tubuh yang berfungsi sebagai medium transport untuk metabolism tubuh,
mempertahankan keseimbangan asam basa normal dalam tubuh, mengatur keseimbangan
air, mengatur suhu tubuh dan pertahanan terhadap infeksi (Harper et al, 1979).
Menurut Downey (dikutip dari Phillis,
1979) umumnnya jumlah volume darah 6 - 8 %
dari berat badan. Pada Kambing volume darah normal 56 – 60 ml setiap
kilogram berat badan.
Gambaran darah merupakan salah satu cara
untuk mendiagnosa penyakit. Penyakit cacing, terutama pada ruminansia kecil
merupakan penyebab utama perubahan gambaran darah hewan (Schalm, 1965).
Bentuk gangguan akibat infestasi Haemonchus contortus adalah anemia,
dengan ditandai kadar haemoglobin menurun, nilai hematokrit di bawah normal dan
jumlah eritrosit berkurang, sedangkan jumlah leukositnya bertambah (Chotiah,
1982).
Hasil penelitian Arifin (1982) pada
Kambing kelompok A masing-masing diinokulasi dengan 2.000 ekor, sedangkan
kelompok B dengan 5.00 ekor larva infektif dan kelompok C tidak diinokulasi,
mendapatkan peningkatan peresentasi nilai hematokrit dan kadar hemoglobin
terjadi empat hari setelah inokulasi, kemudian diikuti penurunan sampai dengan
hari ke 18 setelah itu terjadi peninggkatan lagi
Lampiran..5 dan 6
Pola gambaran grafik hematokrit dan
hemoglobin mengikuti perubahan banyaknya eritrosit. Dari hasil bila
dibandingkan dengan data yang disajikan Greenwood (1977) seperti terlihat pada
table 1 di bawah, diketahui bahwa penurunan banyaknya eritrosit, nilai
hematokrit dan kadar hemoglobin masih dalam batas normal. Demikian pula
peningkattan jumlah leukosit dan persentase neutrofil. Persentase eosinofil dan
monosit meningkat, sedangkan persentase limfosit menurun di bawah batas normal.
Peningkatan jumlah eritrosit, nilai
haematokrit dan kadar hemoglobin pada hari keempat setelah inokulasi Kambing
dengan larva infektif. Hal ini disebabkan karena meningkatnya aktifitas
jaringan eritropoetik sebagi respon perdarahan yang ditimbulkan parasit.
Penurunan jumlah eritrosit terjadi pada
saat cacing memulai produksi telur yaitu 18 hari setelah infeksi dan ketika
produksi telur memuncak yaitu 32 hari
setelah infeksi (Albers dan Le Jambre, 1983). Sedangkan menurut Arifin (1982)
penurunan banyaknya eritrosit terjadi setelah hari keempat dan mencapai puncak pada hari ke 18 setelah
infeksi. Penurunan jumlah eritrosit, nilai hematokrit dan kadar hemoglobin pada
Haemonchosis disebabkan karena larva membutuhkan lebih banyak darah dalam
pendewasaannya, sedangkan jaringan eritropoetik tidak dapat mengimbangi.
Tabel 1. Perbandingan antara nilai
gambaran darah kambing dengan Hasil penelitian (Arifin, 1982)
Komponen Darah
|
Rata-rataa
|
Kisaran a
|
Kelompok Cb
|
Kelompok Ab
|
Kelompok Bb
|
Eritrosit (juta/mm3)
|
12
|
9 – 15
|
10.55
|
9.56
|
9.63
|
Hematokrit (%)
|
33
|
26 42
|
28.92
|
27.49
|
27.38
|
Hemoglobin (g/100ml)
|
12
|
8 – 16
|
10.26
|
9.14
|
9.31
|
Leukosit (ribu/mm3)
|
8
|
4 – 12
|
7.66
|
9.97
|
9.40
|
Netrofil (%)
|
30
|
10 – 50
|
43.83
|
42.53
|
40.4
|
Limponit (%)
|
63
|
50 - 75
|
48.63
|
30.43
|
31.37
|
Eosinofil (%)
|
4
|
2 – 12
|
4.77
|
14.2
|
14.5
|
Monosit (%)
|
3
|
2 - 8
|
2.77
|
13.03
|
13.73
|
aNilai gambaran darah normal menurut Greenwood (1997)
bKelompok C sebagai kontrol tidak diinokulasi
Kelompok A yang diinkolukasi dengan 2.000 larva infektif
Kelompok B yang diinkulasi dengan 5.00 larva unfetif
Menurut Sood (1981) larva stadium
keempat dan cacing yang mulai dewasa merupakan penghisap darah yang rakus. Hal
ini didukung oleh Soulsby (1965) yang menyatakan bahwa larva stadium keempat
dan cacing dewasa menghisap darah dengan cara melekatkan diri pada mukosa
abomasum dan menghisap darah selama lebih 12 menit, lalu melepaskan diri,
tetapi luka yang ditimbulkannya masih tetap mengeluarkan darah kurang lebih
tujuh menit. Sedangkan menurut Dargie dan Allonby (1975) larva stadium kelima
dan cacing mulai dewasa merupakan penghisap darah yang sangat banyak.
Leukosit merupakan unit mobil dari sistem
pertahanan tubuh yang dibentuk di dalam sum-sum tulang (Ganong, 1983). Menurut
arifin (1982) jumlah leukosit meningkat sampai dengan hari ke 18 setelah
inokulasi. Peningkatan ini disebabkan karena penyerangan larva dan cacing
dewasa sehingga menyebabkan peradangan pada mukosa abomasum. Mulai hari ke 18
setelah infeksi terdapat penurunan jumlah leukosit, disebabkan Kambing mengalami
masa penyembuhan akibatnya terbentuknya kekebalan. Pada difrensiasi leukosit
didapatkan peningkatan persentase neutrofil, eusinofil, monosit, sedangkan
limfosit menurun.
Eosinofil merupakan tanda khas atau
patognomonis dari infeksi cacing (Soulsby, 1979). Faust dan Russell (1957)
melaporkan bahwa adanya kenaikan eosinofil 10% pada penderita cacingan. Hunter
dan Mackenzie (1982) dan Arifin (1982) berpendapat peningkatan eosinofil dimulai
pada sejak saat perkembangan larva ketiga menjadi larva keempat dan mencapai
maksimal pada saat larva mengadakan ekdisis menjadi larva kelima yang terjadi
pada hari ke 7 setelah inokulasi (Lampiran 7).
Seddon (1967) menyatakan bahwa pada
infestasi Haemonchus contortus yang
berat induk semang kehilangan darah minimum 60 ml setiap harinya. Sedangkan
menurut Clarck (1977) setiap cacing Haemonchus
contortus dewasa menghisap darah 0,049 cc setiap harinya. Fouri (1931:
dalam Arifin, 1982) menyatakan cacing ini menghisap darah dan sebabgai akibat
kerja antikoagulan dari kelenjar yang terdapat di bagian kranialnya,
menyebabkan perdarahan selama beberapa saat setelah cacing melepaskan diri dari
mukosa abomasum.
Kehilangan darah berhubungan langsung
dengan prooduksi telur cacing. Ini menunjukkan ada faktor darah yang merupakan
faktor penting bagi biosintesis telur Haemonchus
contortus, faktor tersebut adalah
oksigen, tetapi menuurut Whictlock oksigen mungkin bukan satu-satunya komponen
darah yang diambil oleh cacing (Clark, 1977).
Menurut Dargie dan Allonby (1975) anemia
pada Kambing yang menderita Haemonchosis berlangsung dalam tiga tahap. Tahap
pertama dikenal sebagai haemonchosis
akut yang berlangsung sampai tiga minggu sesudah infestasi. Pada tahap ini
Kambing kehilangan darah dalam jumlah besar sebelum sistem eritropoetiknya
mampu menghasilkan darah pengganti. Pada tahap yang kedua, yang berlangsung
antara minggu ketiga dan kedelapan, kehilangn eritrosit termasuk zat besi
berlangsung terus,tetapi diimbangi oleh kegiatan system eritropoetik. Pada
tahap ketiga terjadilah kelalahan sistem eritropoetik yang disebabkan oleh
ekurangan besi dan mungkin juga asam amino.
2.3.2.
Saluran Pencernaan dan Gangguan
Metabolisme
Fungsi utama alat pencernaan adalah
mempersiapkan makanan supaya dapat diserap ke dalam darah. Beberapa bagian alat pencernaan mempunyai fungsi
tertentu, seperti lambung sebagai alat penampung utama makanan, usus kecil sebagai tempat absorbs makanan, sedangkan usus besar
menyerap kembali cairan-cairan dan mengeluarkan sisa metabolism.
Cacing Haemonchus contortus tinggal di
dalam abomasum, tidak adaaitannya dengan penyerapan yang dilakukan oleh usus
halus. Akan tetapi kehadiran Haemonchus
contortus dalam abomasum menyebabkan suasana asam sehingga makanan cepat
digiring ke usus halus, caecum, kolon dan seterusnya. Cepatnya aliran makanan
menyebabkan penyerapan dalam usus halus kurang intensif sekalipun oleh usus
yang baik (Dargie, 1973). Hal ini
didukung oleh Hunt dan Knox (1968: dalam Buernoet et al, 1982) yang menyatakan bahwa pada ruminansia pengosongan
lambung dipengaruhi asam lambung. Peningkatan pH dapat menyebabkan
dipercepatnya pengosongan lambung dan peningkatan aliran duodenum. Menurut
Buerno et al (1982) peningkatan aliran pencernaan pada
hewan yang terinfestasi parasit sebagai akibat pengeluaran sekretin dan chelocystokinin.
Menurut Buerno et al (1982) cacing yang belum dewasa ebih aktiv dari pada cacing
yang telah dewasa, hal ini menyebabkan kerusakan mukosa abomasum yang luas
sehingga terjadi gangguan gastro intestinal yang hebat. Sood (1981) menyatakan
bahwa kehadiran cacing Haemonchus contortus di dalam abomasum akan mengganggu pencernaan
dan absorbs protein, kalsium dan fosfor, meningkatkan keasaman lambung dan
plasa pepsinogen. Keadaan ini menyebabkan kambing menderita hipoproteinemia dan
kataboloisme protein yang cepat.
2.3.3. Produktifitas dan Pertumbuhan Badan
Anoreksia merupakan salah satu gejala
helminthiasis, yang dapat mentyebabkan lambatnya pertumbuhan badan. Penurunan
nafsu makan terjadi pada hari ke 10 sesudah infeksi (Laurence et al, 1951:
dalam Gibson, 1963).
Laurence et al (1951) mengemukakan bahwa
peningkatan makanan (gandum) 300 gram setiap hari pada Kambing yang terinfeksi
Haemonchus contotrtus dapat menambah berat badan dan hemoglobin. Tetapi White
dan Cushnie (1952) tidak menemukan perbedaan antara dua grup Kambing, dimana
salah satu kelompok mendapatkan makanan yang berlebih. Dia mendapatkan jumlah
telur tiap gram tinja lebih rendah pada Kambing yang mendapatkan makanan yang
berlebih dari pada yang tidak mendapatkannya (Gibson, 1963).
2.3.4. Siklus Hidup
Siklus
hidup Haemonchus contortus adalah langsung tidak memerlukan induk semang
antara. Cacing dewasa hidup di dalam abomasums hewan ruminansia. Cacing betina
dewasa dapat bertelur anatara 5.000 – 10.000 butir setiap hari. Cacing dewasa
betina mengeluarkan telur (oviparous) dan meletakkan telurnya pada stadium
morula di dalam lemen abomasum, kemudian di keluarkan melalui feses. Telur mempunyai panjang 70 -
85µ. Dengan diameter 41 – 48 µ. Pada waktu dikeluarkan bersama tinja, telur
telah berisi embrio yang terdiri dari16 – 32 sel (Soulsby. 1968). Setelah 14 –
19 jam berada di luar telur akan menatas bila suhu cukup baik (Marsh, 1958).
Telur berembrio akan menetas menjadi larva stadium pertama (L₁) yang memakan mikroorganisme dari tinja induk semang. Selanjutnya larva
stadium pertama (L₁) mengadakan ekdisis menjadi larva
stadium kedua (L₂) yang lebih aktif dari pada larva stadium pertama (L₁) dan berenang dengan cepat di dalam air. Larva stadium kedua (L₂) kemudian mengadakan
ekdisis lagi membentuk larva stadium ketiga
(L₃) atau larva infektif, akan tetapi selubung larva kedua
tidak dilepaskan sehingga larva ketiga mempunyai dua selubung. Karena itu larva
infektif lebih tahan terhadap kekeringan dan udara dingin dari pada larva
stadium pertama dan kedua. Pada tahap ini larva aktif meskipun tidak makan,
twetapi dapat hidup dari persediaan makanan yang disimpan dari sel – sel
ususnya. Clark (1977) menyatakan bahwa larva dapat hidup selama 6 bulan.
Sedangkan menurut Marsh (1958). Lara infektif pada keadaan panas, kering dan
beku dapat hidup tidak lebih dari 3 bulan. Larva tersebut aktif memanjat,,
menaiki rerumputan pada pagi dan malam hari. Dalam lingkungan yang optimum,
Stadium larva ketiga (L3) ini dapat dicapai kira – kira dalam 4 hari.
Sood (1981) menyatakan bahwa kondisi optimum untuk perkembangan telur Haemonchus contortus sampai menjadi
larva infektif adalah pada suhu 10 – 37 ⁰c, sedangkan
pada suhu 40 ⁰c akan mati dalam jangka waktu 20 jam. Menurut
Misrah dan Ruprah (1978b: dalam Sood, 1981) telur Haemonchus contortus menetas pada suhu 25 – 30 ⁰c, dengan kelembaban 70 – 85 %. Chotiah (1982) menyatakan
bahwa telur cacing yang terdapat di dalam tinja akan menetas setelah 24 jam
pada suhu 60 – 100 ⁰f dan berkembang menjadi larva infektif
pada suhu yang sama. Sedangkan menurut Jehan dan Gupta (1974: dalam Sood, 1981)
Telur menetas menjadi larva infektif pada suhu optimum 30 ⁰c.
Infestasi pada kambing terjadi apabila larva stadium tiga (L₃) termakan oleh kambing, yang biasanya berlangsung di
lapangan pada saat Kambing merumput. Kemudian bergerak dari rutikulorumen ke
abomasums. Di dalam retikulorumen larva infektif akan segera melepaskan kulit
yang membungkusnya, hal ini terjadi satu
jam setelah Kambing terinfeksi (Dakkak et al, 1981). Kemudian larva ketiga melakukan ekdisis dalam waktu
48 jam setelah di dalam abomasum, membentuk larva stadium keempat (L₄). Menurut Wictlock (Dakkak et al, 1981)
hanya larva tidak berselubung yang dapat berkembang di dalam abomasums. Larva
keempat dilengkapi dengan “bucal capsul” sementara. Larva menyusup kedalam
mukosa dan mengisap darah. Tetesan darah pada luka kemudian membeku
mengelilingi larva tersebut. Setelah tiga hari, larva membebaskan diri dari
bekuan dan mengadakan ekdisis terakhir, membentuk larva stadium kelima (L₅).Larva kemudian membenamkan diri ke dalam mukosa dan berkembang menjadi
dewasa.
Hunter dan Mackenzie (1982) menyatakan bahwa larva stadium keempat
terbentuk dalam empat hari setelah infestasi, sedangkan larva stadium kelima
terbentuk pada hari ketujuh setelah infestasi. Cacing menjadi dewasa di dalam
abomasum 18 hari setelah infesrasi dan telur pertama dikeluarkan bersama tinja
induk semang 18 – 21 hari setelah infestasi. Sedangkan menurut Marsh (1958)
cacing dewasa terbentuk pada hari kesepuluh setelah infestasi dan telur pertama
dikeluarkan 15 hari setelah infestasi. Menurut Sood (1981) masa prepaten Haemonchus contortus pada kambing selama
21 hari.
Selain oviparous, siklus huidup Haemonchus
contortus dapat secara viviparous. Sebagai hasil penelitian Ayalew dan
Murphy (1986) secara in vitro dilaporkan bahwa telur Haemonchus contortus dapat menetas di dalam uterus pada suhu 39 –
40 ⁰c dan berkembang menjadi larva stadium ketiga (L₃) 2 hari setelah inkubasi. Kemudian larva stadium ketiga akan menjadi
larva stadium keempat yang dapat menimbulkan autoinfeksi.
Gambar 2.
Siklus hidup cacing Haemonchus
sp. (Carmichael, 1993).
Telur cacing terdapat pada tinja dan
biasanya menetas dalam tanah. Larva stadium pertama (L₁) hidup dari mikrooranisme dari tinja, menyilih menjadi larva stadium yang
hidup dari mikroorganisme, dan kemudian menjadi larva stadium dua (L₂) yang juga hidup dari mikroorganisme, dan kemudian menjadi larva stadium
tiga (L₃) yang terselubung di dalam kulit larva
stadium ke dua (L₂) dan tidak makan.Larva stadium tiga (L₃) berpindah lmenuju tumbuhan dan larva dapat tertelan oleh induk semang
definitive. Di dalam gastrointestinal larva
melepaskan selubungnya dan menyilih menjadi larva stadium empat (L₄4), kemudian menjadi cacing dewasa menghisap darah darah hospes dan
menyebabkan gastritis kataral ringan (Levine, 190).
2.3.5. Kerugian ekonomi akibat Haemoncus
contortus
Penyakit yang sering mendatangkan
kerugian yang cukup besar walaupun jarang menyebabkan kematian adalah penyakit
yang disebabkan oleh cacing. Maninfestasi penyakit parasit cacing berbeda
dengan penyakit yang disebabakan oleh virus atau bakteri. Pada penyakit virus
atau bakteri umumnya kerugian ekonomi dapat dengan mudah diketahui, yaitu
dengan adanya kematian. Sedangkan pada penyakit cacingan kerugian utama umunya
bukan kematian, tetapi karena kekurusan, pertumbuhan terhambat, turunnya
produksitifitas, turunnya daya tahan tubuh, turunnya daya kerja dan lain –
lain.
Berbagai parasit cacing yang sering
merugikan peternakan Kambing antara lain jenis Haemonchus contortus, Oesophagustomum columbianum, Trichostrongylus
colubriformis, Fasciala sp. serta Paramphistomum sp. (Soulsby. 1965). Meskipun cacing utama
penyebab kerugian paling besar itu tidak diketahui, tetapi karena Haemonchus contortus merupakan cacing yang dominan dan bersifat
penghisap darah yang jahat (Allonby dan Uruqahart, 1973: dalam Soetejo et al. 1980) maka diduga Haemonchus contortus lah yang
menyebabkan kerugian yang paling besar. Hal ini diperkuat oleh pernyataan
Wargadipura dan Rumawas (1976) yang mengatakan bahwa Haemonchus contortus lah yang menimbulkan kerugian ekonomi paling
besar, baik kepada pribadi pemilik maupun kepada Negara.
Kerugian yang ditimbulkan akibat
infestasi cacing pada domba di Amerika serikat tahun 1976 diperkirakan sebesar
US $ 98.000.000,00, hal ini dilaporkan oleh persatuan ahli Parasitologi Amerika
Serikat (1983). Menurut laporan Allonby dan Urquhart (1973: dalam Soetedjo et al. 1980) kerugian yang tinggi
disebabkan oleh Haemonchus contortus di Negara Australia, Afrika Timur dan
Amerika Latin.
Di Indonesia, ternak Kambing merupakan
salah satu komoditi ternak yang cukup potensial untuk memenuhi kebutuhan
protein hewani. Populasi ternak di Indonesia sekitar 4,3 juta ekor. Kurang
lebih 82% dari seluruh populasi Kambing ini terdapat di pulau jawa. Ternak ini
umumnya dipelihara oleh peternak kecil di pedesaan dengan modal dan pendapatan
rendah. Rata – rata pemilikan teranak berkisar 2 – 5 ekor per peternak. Bagi
peternak, Kambing ini mempunyai arti sebagai hewan tabungan, penghasil pupuk
dan member lapangan pekerjaan (Briajaya. 1986).
Produktifitas ternak Kambing pada saat
ini di Indonesia sangat rendah. Sistem menejemen peternakan yang teradisional
sangat berperan menyebabkan rendahnya produktifitas. Salah satu kendala yang
dirasakan dan sering di abaikan ialah
gangguan penyakit cacing. Haemonchus
contortus merupakan parasit
nematode yang terpenting pada Kambing di Indonesia (Briajaya, 1986). Menurut
Wargadipura dan Rumawas (1976) Haemonchosis merupakan penyakit yang bersifat
endemis yang mengakibatkan kerugian yang
cukup besar, sedangkan menurut Angus (1978) infeksi yang disebabkan Haemonchus contortus bersifat sporadik.
Tingkat prevalensi Haemonchus contortus cukup tinggi yaitu dapat mencapai rata – rata
80% (Puslitbangnak, 1980). Selanjutnya Chotiah (1983) melaporkan bahwa
prevalensi infestasi Haemonchus contortus
pada Kambing di Lampung selatan dan Lampung tengah sebesar 86%, yang
mengakibatkan 58% Kambing mengalami kematian, sedangkan Kambing yang masih
hidup mengalami kekurusan. Berdasarkan perhitungan direktorat Jendral
Peternakan (1974), 67% dari populasi Kambing dan domba di Indonesia menderita Haemonchosis dengan akibat penurunan
berat badan sebesar 30% dan angka kematian 6,17% pada Kambing serta 4,18% pada domba. Di perhitungkan kerugian yang
ditimbulkan pada waktu itu Kambing sebesar Rp. 4. 366.769.703,-.
Menurut Rollison (1975: dalam Lubis,
1983), kerugian akibat parasit pada ternak di Indonesia diperkirakan sebesar US
$ 600.000.000,00 dalam satu pelita, sekitar 120 milyar rupiah setiap tahun.
2.3.6.
Diagnosa
Diagnosa
penyakit sedini mungkin sangat diperlukan untuk menentukan tindakan lebih lanjut dalam menanggulangi
penyakit, baik dalam tindakan pengobatan maupun pencegahan. Sebaiknya Diagnosa
yang salah akan lebih memperparah kejadian penyakit, bahkan dapat menyebabkan
kematian.
Diagnosa
Haemonchosis yang disebabkan ol;eh
larva infektif Haemonchus contortus dapat
didasarkan atas tanda klinis atau gejala klinis, pemeriksaan tinja baik
kwalitatip maupun kwantitatif dan pemeriksaan pasca mati (Lapage, 1956; Marsh,
1958). Selain itu Sood (1981) menyatakan bahwa diagnosa Haemonchosis dapat juga dengan uji interdermal menggunakan antigen
yang disuntikan pada daerah pangkal ekor, reaksi dikatakan positif apabila
bekas suntikan berdiameter sama atau lebih dari 10 mm.
2.3.7.
Gejala Klinis
Infestasi cacing Haemonchus Contortus jarang gejala kelinisnya terjadi secara murni,
biasanya terjadi campuran dengan cacing lainnya, sehingga sering menunjukkan
gejala klinis yang membingungkan.
Gejala klinis yang ditimbulkan oleh
Haemonchosis bervariasi dari akut sampai dengan kronis. Kasus akut rentan
terjadi pada anak Kambing dan domba secara tiba – tiba. Hewan mati tanpa
menunjukkan gejala selain anemia dah hidraemia (Lapage. 1956; Chotiah, 1982).
Sedangkan kasus kronis ditandai dengan gejala anemia, kelemahan, mukosa dan
konjungtiva pucat, anasarka, ascites, kekurusan, malas, mata cekung dan nafsu
makan berubah. Kadang – kadang ditemukan sembelit atau diarrhea, jalan
sempoyongan dan bulu rontok. Sering ditemukan busung di bawah dagu yang dikenal
sebagai “bottle jaw” (Lapage. 1956; Blood dan Henderson, 1979).
Hungerford (1970) menyatakan bahwa
gejala – gejala yang mencolok adalah kematian secara mendadak, anemia. uedema,
mukosa pucat dan penurunan berat badan yang cepat. Pada infestasi yang berat
dan bersifat akut dapat mengakibatkan kematian mendadak tanpa memperlihatkan
gejala klinis.
Rue Jensen, 1974 (dalam Chotiah, 1982)
menyatakan bahwa gejala klinis Haemonchosis pada Kambing induk ditandai dengan
penurunan berat badan dan produksi susu dan uedema di bawah rahang. Sedangkan pada anak Kambing
ditandai dengan pertumbuhan terhambat, kurus dan ungkin berakhir dengan
kematian. Diarhea jarang terjadi dan sewaktu autopsi ditemukan sejumlah cacing.
2.3.8.
Pemeriksaan telur dalam tinja
Leiver (1951) menyatakan bahwa adanya
cacing yang ada di dalam lambung dan usus Kambing dapat diketahui dengan
melihat adanya telur cacing dalam feses. Semakin banyak telur cacing
ditemukan di dalam feses, maka semakin
banyak pula cacing yang ada di dalam lambung atau usus. Hal ini dapat diketahui
dengan pemeriksaan feses secara dengan kwalitatif dan menghitung cacing post
mortal, walaupun sangat sukar hubungannya karena hanya dapat menetapkan derajat
infeksinya yaitu berat, sedang dan ringan.
Menurut Cordon (1971) perhitungan telur
cacing tiap gram feses yang dinyatakan dengan ttgt. Ttgt yang tinggi menyatakan
presentase dari cacing dewasa yang tinggi dan sebaliknya hasil perhitungan ttgt rendah
menyatakan presentase cacing dewasa sedikit. Dengan kata lain perhitungan ttgt
menyatakan segala sesuatu tentang presentase cacing dewasa.
Untuk pemeriksaan laboratorium
dipergunakan tinja yang diambil dari rectum atau yang belum lama keluar.
Apabila tidak segera diperiksa, tinja tersebut dapat diawetkan dalam larutan
10% formalin atau fenol gliserin (Fenol:gliserin:air = 1 : 5 : 94).
Adapun tehnik pemeriksaan tinja dapat
dilakukan dengan beberapa cara yaitu :
2.3.9.
Preparat Natif
Tinja (sebesar separuh butir beras)
diletakkan di atas gelas obyek, ditambah satu tetes air. Setelah itu
dicampurkan dan ditutup dengan glas penutup (couver glas) kemudian diperiksa di
bawah mikroskop. Untuk
membedakan spesies cacing nematoda.
5.2.9. Pewarnaan Eosin 0,5%
Beberapa tetes eosin diletakkan di atas
glas obyek, lalu dicampur dengan sedikit tinja dan diaduk hingga rata, tutup
dengan couver glas. Periksa di bawah mikroskop.
5.2.10. Metode Apung (dengan
NaCl jenuh)
Dasar dari metode ini adalah bahwa berat
jenis telur cacing lebih kecil dari pada larutan NaCl jenuh, sehingga telur
dapat mengapung di atas permukaan cairan.
Cara pemeriksaan sebagai berikut:
-
5 gram tinja dimasukkan ke dalam tabung centrifuge
-
Ditambah air sampai 2/3 tabung dan di aduk
-
Setelah di biarkan tenang 5 menit, air beserta bahan yang
terapung di buang dengan hati – hati.
-
Ditambah air lagi sampai 2/3 tabung dan diaduk
-
Diputar 10 menit dengan kecepatan 5.000 putaran / menit
-
Cairan di buang dengan hati – hati
-
Ditambah NaCl jenuh sampai 2/3 tabung dan diaduk
-
Diputar 10 menit lagi
-
Tabung diambil dan diletakkan berdiri pada rak, kemudian
ditambah NaCl jenuh lagi sampai permukaanya cembung
-
Setelah dibiarkan 5 menit, cairan yang cembung dalam tabung
sentrifuge tersebut ditempelkan dengan couver glas.
-
Cairan yang menempel pada couver glas diperiksa di bawah
mikroskop.
5.2.11. Metode
Mc Master
-
2 gram tinja dimasukkan ke dalam mortir, kemudian ditambahkan
air garam jenuh 30 ml, digerus sampai
merata.
-
Cairan tersebut disaring dan dimasukkan ke dalam tabung,
tambahkan air garam jenuh hingga volume 60 ml.
-
Hasil saringan tersebut disaring kembali hingga cairan
menjadi jernih.
-
Hasil akhir dikocok, kemudian dipipet dengan pipet Pasteur
dan dimasukkan ke dalam kamar hitung whitlock.
-
Jumlah telur taip gram tinja adalah sama dengan jumlah rata –
rata telur tiap kotak x 60.
5.3.
Pemeriksaan Pasca Mati
Kulit dan membran mukosa pucat, darah
encer dan organ – organ tubuh bagian dalam juga pucat, darah encer dan
organ-organ tubuh bagian dalam pucat. Dalam ruang perikardium terdapat cairan,
hidrotorak, asites dan kekurusan. Hati berwarna coklat mengkilat, rapuh dan
terjadi degenerasi lemak hati.Abomasum berwarna merah kecoklatan, terdapat
eksudat kekuningan, mukosa menebal dan terdapat bekas gigitan parasit berwarna
merah. Kadang-kadang ditemukan ulkus pada abomasums sehingga terjadi
abomasitis. Cacing ditemukan dalam jumlah besar di abomasum dan sedikit di usus
(Lapage. 1956).
5.4.
PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN
5.4.1.
Pencegahan
Tidakan pencegahan lebih baik dari pada
pengobatan. Meskipun tindakan pengobatan tidak dapat diharapkan mencapai
keefektifan seratus persen, namun pengobatan yang tepat dapat mencegah lapangan
dari kontaminasi dengan telur yang banyak, selanjutnya akan menurunkan populasi
larva di lapangan.
Dalam usah pencegahan dan pengendalian
suatu penyakit parasiter, khususnya helminthiasis diperlukan suatu pengetahuan
tentang kapan, dimana dan mengapa penyakit tersebut muncul yang disebut
epidemiologi (Kusumamihardja, 1982). Pengetahuan tentang siklus hidup, ekologi
dan epizootiologi hendaknya sudah dikuasai dengan baik sebelum menentukan dan
menerapkan metode control. Di Negara-negara yang telah maju dalam penelitian
penyakit helminthiasis, dapat meramalkan kapan penyakit parasitik tersebut akan
muncul berdasarkan sifat-sifat biologi parasit, jumlah ternak, keadaan
padang pengemabala dan faktor iklim,
sehingga tindakan pencegahan dapat dilakukan secepatnya.
Kontrol berarti mempertahankan jumlah
parasit pada tingkat yang tidak membahayakan, sehingga secara ekonomi tidak
merugikan. Menurut Sood (1981) dan Thomas (1982) control mempunyai tujuan
mengurangi populasi parasit dengan jalan memutuskan siklus hidupnya. Ada dua
jalan pemutusan siklus hidup menurut Thomas (1982) yaitu:
a)
Pada induk semang dengan menggunakan obat cacing untuk mengeluarkan parasit dan menghindarkan sumber
kontaminasi di dalam
b)
Di alam, dengan menjauhkan hewan rentan dari larva infektik.
Kontrol
akan berhasil jika kedua faktor di atas dilaksanakan sekaligus.
Kusumamihardja (1982) berpendapat bahwa
pencegahan dalam penyakit parasit dapat dihubungkan dengan masalah pengobatan
yaitu:
(1). Pengobatan untuk penyembuhan
(2). Pengobtan untuk pencegahan
(3). Pengobtan untuk penyelamatan
Pengobtan untuk penyembuhan dilakukan
pada kelompok ternak bila dalam kelompok itu telah ada beberapa ternak yang
sakit. Pengobatan untuk pencegahan dilakukan secara rutin dan menurut jadwal
yang telah ditetapkan, misalnya pada anak Kambing diberikan obat cacing setelah
disapih. Sedangakan pengobatan penyelamatan dilakukan pada ternak yang sakit
saja untuk menyelamatkan ternak tersebut agar tidak mati.
Tindakan pengobatan dapat dilakukan dengan cara sebagai
berikut :
(1). Menghindari kepadatan yang berlebihan
Mengurangi kepadatan ternak pada suatu
daerah pengembalaan dimaksudkan untuk menghindari infestasi yang tinggi dan
terus menerus. Populasi yang padat menyebabkan telur dan larva banyak tersebar
di lapangan pengembalaan, hal ini tentu memperbesar peluang terjadinya infestasi.
(2). Penggiliran lapangan pengembalaan
Pengembalaan dengan sistem rotasi
merupakan cara yang baik hindari infestasi larva infektif. Menurut Taylor
(1938) larva infektif yang disebarkan pada rumput sebagian besar mati pada
minggu pertama, sehingga disarankannya agar lapangan ditinggalkan beberapa
minggu untuk mengurangi bahaya. Gordon dan Turner (1946) melaporkan bahwa
lapangan yang ditinggalkan selama dua bulan, jauh lebih aman dari pada lapangan
yang ditinggalkan satu bulan, dan cara tersebut lebih efektif terhadap cacing Haemonchus contortus dari pada terhadap
cacing nematoda lainnya (Kusumamihardja, 1982).
(3). Pemisahan ternak muda dan dewasa
Memisahkan anak Kambing atau Kambing
muda dari Kambing dewasa adalah sangat dianjurkan, baik di dalam kandang maupun
pada waktu digembalakan. Gordon (1948) Kambing dewasa mempunyai kekebalan yang
lebih tinggi dari pada Kambing muda. Menurut Eysker (1982) anak Kambing yang
baru disapih, yang dipisahkan dari Kambing dewasa, dapat terhindar dari bahaya
infestasi Haemonchus contortus.
(4). Memilih jenis dan genetik yang peka
Courtney et al (1985) melaporkan bahwa
Kambing domestik lebih peka terhadap Haemonchosis dari pada kambing asing.
Courtnyet al al (1985) melaporkan bahwa
ada hubungan antara kepekaan dengan golongan darah, dimana kepekaan meningkat
sesuai golongan darahnya dimilai dari golongan darah, Hb AB, HbAA. Hal ini
disebabkan karena HbA mempunyai afinitas terhadap oksigen lebih tinggi dibandingkan HbB, sehingga HbA lebih mudah mengatasi haemorragi dan stres dari pada HbB (Altaif
dan Dargie, 1978). Tetapi ada beberapa peneliti yaitu Yazwinski et al, 1979; Windon et
al, 1980 dan Ross, 1970 (dalam Courtney, 1985) menyatakan bahwa tidak ada
hubungan antara golongan darah dengan kepekaan.
(5). Sanitasi kandang
Kebersihan kandang akan mengurangi
kemungkinan terjadinya infestasi larva infektif (L₃) Haemonchus contortus yang
dapat menyebabkan Haemonchosis.
(6). Pemeriksaan kesehatan dan pengobatan secara teratur
Pemberian antihelmintika merupakan salah
satu cara pengobatan untuk pencegahan. Briajaya (1986) mengemukakan bahwa
pemberian obat cacing bersepektrum luas secara berkala dengan selang waktu
sebulan sekali mempunyai efek menekan infeksi cacing nematoda dan juga memberi
pengaruh terhadap kenaikan berat badan. Menurut Eysker (1982) pemberian
anthelmintika pada Kambing induk menjelang melahirkan dan pada anak kambing
yang baru disapih, Pada saat populasi larva di lapangan sedikit adalah sangat
efektif untuk pencegahan Haemonchosis.
Hal ini didukung oleh Kusumamihardja
(1982) yang mengemukakan bahwa ditinjau dari segi pencegahan , pengobatan
dianjurkan pada musim kemarau, karena pada saat itu populasi larva di lapangan
rendah, sehingga peluang reinfestasi menjadi kecil. Tetapi apabila ditinjau
dari segi klinis, pengobatan lebih baik diberikan pada musim hujan dari pada
musim kemarau, karena pada musim hujan populasi cacing dewasa tinggi.
5.4.2.
Pengobatan
Pada umumnya masayarakat belum menyadari
keruigian-kerugian yang disebabkan oleh penyakit parasit pada ternaknya, karena
parasit tidak atau jarang seakali membunuh induk semangnya.Pemberian obat
cacing masih jarang dilakukan oleh para peternak mengingat belum disadari
manfaatnya dan juga kemungkinan harganya belum terjangkau (Briajaya, 1986).
Dalam pengobatan perlu diperhatikan perinsip ekonomi, yaitu mengenai keuntungan
dan kerugiannya penggunaan obat tersebut. Banyak jenis anthelmentika yang
beredar namun harus diperhatikan dalam hal kemanjurannya, toksisitas dan cara
pemberiannya mudah atau tidak. Menurut Brundson (1970: dalam Kusumamihardja,
1982) dengan sering memberikan obat maka derajat infestasi akan tetap berada
dititik bahaya, akan tetapi mengingat harga obat dan biaya pengobatannya cukup
mahal maka secara ekonomis belum tentu menguntungkan.
Di lapangan biasanya berlangsung
infestasi campuran dan ttgt 1000 menunjukkan saat untuk melakukan pengobatan
(Soulsby, 1968).
Menurut Marsh (1958) Phenothiazin sangat
efektif untuk mengatasi .Haemonchosis. Leiper
(1951) mengatakan bahwa pengobatan dengan anthelmintika (missal phenothiazin)
pada Kambing akan memberikan keuntungan yakni mencegah kenaikan jumlah telur
cacing tiap gram tinja yang dikeluarkan selama musim semi dan sekaligus
memberikan keuntungan pada anak-anak kambing kemungkinan terinfestasi oleh
larva infektif sedikit sekali. Penurunann nilai ttgt berarti populasi cacing
juga berkurang. Namun kemudian efek samping penggunaan obat ini pada hewan
bunting terutama pada akhir kebuntingan dapat menyebabkan abortus.
Wargadipura dan Rumawas (1979)
melaporkan bahwa pengobatan dengan dovenik 10 – 12,5 mg setiap kilogram berat
badan secara sub-cutan yang diberikan pada Kambing dan domba sangat efektif
melawan Haemonchus contortus. Hewan
yang disuntik dovenik tidak mengalami gangguan fisik akibat obat ini, walupun
hewan bunting fetus yang berada dalam kandungan tidak mengalami gangguan. Namun
demekian efek samping dari penggunaan obat ini berupa peradangan lokal, tetapi
dapat dihindari dengan membagi dosis dovenik yang tidak disuntikkan lebih dari
5 ml pada satu tempat penyuntikan.
Thiabendazol, dengan nama dagang TEZ
efektif untuk membunuh Haemonchus contortus.
Sood (1981) melaporkan hasil penelitiannya secara in vitro bahwa pengobatan
dengan thiabendazol akan merubah morfologhi dan histochemikal usus cacing.
Pengobatan dengan dosis 50 mg setiap kilogram berat badan memberikan efek
lethal bagi telur Haemonchus contortus pada Kambing dan domba. Namun
demikian ada efek samping penggunaan
obat ini yaitu dapat menyebabkan cacat (menyebabkan teratogenik) apabila
diberikan pada hewan yang sedang bunting terutama pada saat umur kebuntingan 2
– 4 minggu. Selain itu obat ini meninggalkan residu 5 – 6 hari, sehingga hewan
tidak dapat dipotong selama itu.
Menurut Lapage (1956) dan Marsh (1958)
trusi (CuSo₄), campuran trusi (CuSo₄), dengan nikotin dan campuran trusi (CuSO₄) dengan arsenit efektif untuk pengobatan Haemonchosis. Menurut Bhalerao (1934: dalam Sood, 1981) campuran
tembaga sulfat dengan tembakau dapat juga digunakan dengan sukses.
Briajaya (1986) melaporkan hasil
penelitiannya di cerebon dengan memberikan Albendiazol 3,8 mg setiap kilogram
berat badan secara peroral (drenching) didapatkan kenaikan berat badan 41 gram
setiap hari, sedangkan di Bogor dengan menggunakn obat cacing levamisol
phosphate didapatkan karena berat badan yang lebih tinggi yaitu 58 gram setiap
hari.
Melihat keuntungannya, akhirnya obat
cacing digunakan secara besar-besaran dan melampui batas untuk pengobatan,
akibatnya beberapa strain parasit tahan terhadap beberapa obat cacing. K.M. Dash (1986: dalam Waller, 1987)
mengemukakan bahwa resistensi terhadap thiabendazol di Australia muncul karena
pemberiannya hanya setengah dosis. Dosis yang diperlukan untuk melawan Haemonchosis di Australia sekarang
meningkat dari 44 mg menjadi 50 mg setiap kilogram berat badan. Selain itu
resisten terhadap levamisol telah terjadi juga di Australia, hal ini telah
dilaporkan oleh Waller (1987). Tetapi di Negara kita Indonesia, penggunaan anthelmintika masih
jarang, sehingga kejadian resistensi tersebut belum ditemukan.
Disophenol merupakan obat yang efektif
untuk Haemonchus contortus. Pemberian
obat ini dengan dosis 7,5 mg setiap kilogram berat badan secara sub-cutan
dengan jarak 3 bulan sekali sekali dapat menekan telur Haemonchus contortus yang terinfestasi secara alami. Keuntungan
pemakaian obat ini harganya murah dengan jarak sekali penyuntikan cukup lama
sehingga tidak menimbulkan resisten. Sdangkan penggunaan anthelmintika lainnya
(seperti thiabendazol) membutuhkan jarak penyuntikan 3 minggu sekali, sehingga
lebih memungkinkan timbulnya resistensi. Keuntungan lainnya obat ini dapat
beredar cukup lama di dalam darah, sehingga dapat mencegah reinfestasi. Namun
demikian ada kerugian pemakaian obat ini berupa residu obat selama 30 hari,
sehingga hewan tidak bisa dipotong selama periode ini (Sotedjo et al, 1980).
Kemanjuran beberapa obat cacing terhadap
Haemonchus contortus terdapat pada
table 1.
Jika di daerah tida didapatkan obat-obat
cacing tersebut, maka dapat digunakan obat tradisional. Menurut Arifin dan
Soedarmona (1982) tembakau dapat digunakan sebagai obat cacing. Caranya adalah
sebagai berikut 1 liter air di campurkan dengan tembakau sampai warna coklat
tua (konsentrasi 40%), kemudian dicampur dengan trusi (kira-kira 30 gram) kemudian
diaduk, campuran tersebut ditambah lagi air sebanyak 2 liter, dikocok kemudian
diminumkan pada ternak yang cacingan. Ternak yang akan di obati harus
dipuasakan selama setengah hari (12 jam) sebelum dan 6 jam sesudah pengobatan.
Dosis yang diberikan untuk Kambing dan domba dewasa 50 ml setiap ekor secara
peroral.
Self cure (penyembuhan sendiri)
merupakan reaksi kekebalan yang pertama kali diperkenalkan oleh Stoll (1929:
dalam Soulsby, 1979). Ia menemukan Kambing yang digembalakan tiba-tiba tahan
terhadap infeksi dan reinfeksi. Gordon (1948) mengatakn bahwa pembentukan
antibodi oleh larva ke 3 dan ke 4 menyebabkan terjadinya kekebaln induk semang
terhadap infestasi cacing dan kejadian ini disebut reaksi Self cure. Stewart
(1953: dalam soulsby, 1979) mengatakan bahwa pada kejadian “Self cure” dijumpai
histamin darah meningkat. Diduga parasit ini dapat menyebabkan keluarnya faktor
kemotatik seperti histamin, sehingga dapat merangsang eosinofil menuju tempat
infeksi. Kejadian “self cure” menyebabkan populasi cacing akan menurun. Reaksi
terhadap infestasi pertama bersifat ringan, karena belum ada kekebalan terhadap
larva. Reaksi kekebalan ini mulai meningkat pada nfestasi berikutnya, kaeran
kambing telah memiliki antibodi.
Tabel
2. Anthelmintika efektif terhadap Haemonchus
contortus
Anthelmintika
|
Dosis/Berat
Badan
|
Ternak
|
Ketarangan
|
Phenothiazine
(Phenovis-ICI)
|
500 – 600 mg/kg
|
Domba dan kambing
|
Difektif pada stadium larva
|
Methyridine (Mintic,
Promintic-ICI)
|
200 mg/kg s.c.
|
Domba, kambing dan sapi
|
|
Nephthalophos (Rametin, Maretin-Bayer)
|
50 mg/kg
|
Domba, kerbau dan anak sapi
|
Effektif pada stadium belum dewasa
|
Trichlorphon
(Negovon-Bayer)
|
50 ug/kg dalam 10% suspensi
|
Domba
|
|
Tetramisole
hydroclorida (Nilverm-ICI)
|
15 mg/kg
|
Domba, kambing dan unta
|
Effektif pada stadium belum dewasa
|
Thiabendazole
(Thiabendazole-MSD)
|
50 mg/kg
|
Domba dan kambing
|
Effek lethel terhadap telur
|
Parabendozole
(Helatac-SKF)
|
30 mg/kg
|
Domba
|
|
Nitroxynil (Trodax-M
& B)
|
12.5 mg/kg s.c.
|
domba
|
|
2.3. Darah
Darah terdiri dari cairan ekstraseluler (cairan plasma) dan cairan
intraseluler (cairan dalam sel darah).
Darah Rata – rata volume darah mansia normal ialah sekittar 8% dari bobot tubuh atau sekitar 5 liter (Guyton
1997).
Komponen darah terdiri dari 60% bagian cair (plasma darah) dan 40% bagian padat (butir darah). Bila darah disentrifus
terdiri dari tiga lapisan yaitu, 54% plasma darah pada lapisan pertama terdiri
91% air, 7% protein darah dan 2% nutrisi, hormon serta elektrolit, lapisan
kedua adalah Buffy coat dengan
persentasi 1% yang terdiri dari leukosit dan 45% eritrosit pada lapisan paling
ketiga.
Gambar 2 darah yang telah disentrifuse
Darah beredar didalam sistem vaskuler dan melaksanakan fungsinya sebagai
sistem transportasi nutrisi, oksigen, sisa – sisa metabolisme dan hormon dan
juga sebagai alat pertahanan tubuh dari
benda – benda asing yang bersifat pathogen, infeksi bakteri ataupun virus.
Selain itu dapat pula berperan dalam menjaga hemostatis dalam proses pembekuan
darah dan penyembuhan luka (Guyton 199).
2.4. Sel darah Putih
Sel darah Putih (leukosit) berasal dari bahasa Yunani, leukos berarti putih dan kytos berarti sel. Istilah leukosit
berasal dari sampel darah yang telah disentrifus, leukosit akan ditemukan Buffy coat, yaitu lapisan tipis berwarna
putih khas yang terletak diantara lapisan sel darah merah yang tersedimentasi
dengan lapisan plasma darah.
Dalam sistem prtahanan tubuh, leukosit merupakan unit yang paling aktif
karena berperan dalam melawan berbagai penyakit infeksi dan benda asing (Guyton
1997; Maton 1993). Fungsi utama leukosit
merusak bahan – bahan infeksius dan toksik melalui proses fagositosis (
membentuk antibody) (Guyton 1997).
Pembentukan leukosit sebagian dilakukan sumsum tulang (granulosit, monosit dan sedikit limfosit) dan
sebagian lagi di jaringan limfe (limfosit dan sel – sel plasma). Dalam satu
liter darah manusia dewasa, jumlah normal leukosit sekitar 4-11x10⁹ dan pada manusia dewasa yang sehat – sekitar 7.000 –
25.000 sel per tetes, sedangkan pada bangsa Kambing berkisar antara 7.200 –
17.700/mm³. Dalam kasus leukemia, jumlah leukosit dapat meningkat hingga 50.000
sel per tetes.
Gambar 4 Buffy coat.
Morfologi leukosit berbeda dengan eritrosit dalam beberapa hal, yaitu
leukosit memiliki inti, mengandung hemoglobin dan hanya memiliki satu
bentuk berdasarkan ada atau tidaknya
granula, leukosit terbagi atas dua golongan besar yaitu agranulosit dan granulosit.
2.4.1.
Leukosit agranulosit
2.4.1.1. Limfosit
Limfosit adalah jenis leukosit yang terlibat dalam sistem kekebalan pada
vertebrata. Berdasarkan ukurannya, limfosit dibedakan menjadi dua kelompok
besar yaitu, limfosit besar (large
lymphocyte) dan limfosit kecil (small
lymphocyte). Pada fetus, limfosit dibentuk sumsum tulang dan dipengaruhi
oleh beberapa fungsi baik oleh kelenjar timus untuk limfosit T maupun bursa
ekuivalen oleh limfosit B dan kemudaian
akan berdiferesiensi, sehingga dapat menghasilkan antibodi pada anak – anak
(Mayer et al. 1992). Pada akhir masa
fetal dan post natal, kebanyakan limfosit diproduksi di limfa, limfonodus dan
usus yang berhubugan dengan jaringan limfoid. Limfopoiesis pada organ skunder
bergantung pada stimulasi antigenik.
Limfosit sebagian besar disimpan dalam berbagai area jaringan limfoid
kecuali pada sedikit limfosit yang secara temporer diangkut dalam darah (Guyton
1997). Limfosit tersebar dalam nodus limfe namun dapat juga dijumpai dalam
jaringan limfoid khusus, seperti limpa, daerah submukosa dari traktus
gastrointestinal dan sumsum tulang (Guyton 1997).
2.4.1.2. Monosit
Monosit merupakan leukosit yang berukuran paling besar dibandingkan yang
lainnya dalam peredaran darah (Haen 1995). Jumlah monosit 3-8% dari total
leukosit dan pada bangsa Kambing, jumlah monosit 0 – 6% (Cornell University
1996). Morfologi monosit dapat digambarkan sebagai berikut, memiliki satu
nukleus, besifat motil dan fagositik, sitoplasma lebih banyak dari limfosit,
berwarna abu – abu pucat dan memiliki inti berbentuk lonjong dan seperti ginjal
atau tapal kuda (Jain 1993; Swenson dan Reece 1993) serta memiliki diameter 12
– 18 µm (Dellmann dan Eurell 1998). Menurut Dellmann dan Eurell (1998) monosit
adalah precursor makrofag jaringan yang memiliki inti pleomrfik, artinya
intinya bisa terlihat panjang, berbntuk tidak teratur, padat, berlekuk,
berbentuk seperti tapal kuda, dan kadang
agak berlobus. Pada umumnya monosit dikenal, sebagai sel yang berwarna terang
sampai biru tua dan memiliki inti yang tidak bulat. Pada umumnya, luas kormatin
monosit lebih luas dari pada neutrofil dan limfosit dan pada beberapa spesies,
monosit akan terlihat seperti granula kecil yang berwarna merah muda (pink)
(Cornell University 1996).
Jumlah monosit pada bangsa Kambing antara 0 – 6% dari total leukosit. Masa
edar monosit dalam aliran darah 1 - 3 hari dan kemudian masuk kedalam jaringan
di seluruh tubuh dan akan berubah menjadi makrofag (Tizard 1982). Perubahan
monosit menjadi makropag, terjadi saat monosit bergerak dari aliran darah
menuju jaringan dengan cara kemotaksis dan dibantu dengan limfokin (Swenson dan
Reece 1993). Limfokin adalah substansi yang dihasilkan oleh leukosit yang
berperan dalam aktivasi makrofag, transformasi limfosit, dan kekebalan dengan
perantara sel (Haen 1995). Monosit yang telah menjadi makrofag baik pada aliran
darah maupun pada jaringan disebut sebagai sistem fagoositik mononuklear.
Fungsi sistem tersebut adalah menghancurkan dan mengolah bahan asing yang masuk
kedalam tubuh sehingga dapat memberikan respon tanggap kebal (Tizard 1982).
Fungsi utama monosit dalam sistem imun, yaitu merespon adanya tanda –
tanda inflamasi dengan cara bergerak cepat (kira – kira 8 – 12 jam) ke tempat
yang terinfeksi, mengirimkan makrofag dan sel dendrit untuk merangsang respon
imun, membentuk protein dari satu komplemen dan mengeluarkan subtansi yang
mempengaruhi terjadinya proses peradangan kronik (Swenson et. al 1993),
bertanggung jawab terhadap pemerosesan dan pembuangan senescent sel (sel mati) dan
debris (pecahan sel) serta mempiltrasi bakteri dan racun dari darah fortal
(Mayer et. 1992). Kontak yang dekat
antara limfosit dan monosit diaktifkan dari limfokin – limfosit T (Ganong 1993).
Monosit muda mempunyai kemampuan yang sangat kecil untuk melawan infeksi,
tetapi setelah memasuki jaringan, ukuran diameternya akan mulai membesar dan
meningkat hingga lima kali lipat sampai berukuran 80 µm. Makrofag memiliki
peranan yang sanbgat penting dalam inflamasi karena mengandung dan
mensekresikan banyak substansi aktif
biologis, termasuk enzim proteolitik, interferon, interleukin-1,
komponen komplemen, prostaglandin, dan protein carier.
2.4.2.
Leukosit granulosit
Leukosit granulosit adalah leukosit yang memiliki ciri khas karena
berdiameter hampir sama (10 – 15 µm), memiliki butir spesifik yang jelas meskipun ukuran, bentuk dan afinitas
pewarnaan dapat berbeda pada setiap spesies dan intinya bergelembir (Polymorphnuclear) (Hartono 1989).
Pembentukan dan penyimpanannya, dilakukan oleh sumsum tulang dan saat diperlukan oleh tubuh akan segera
dilepaskan pada sistem sirkulasi. Dalam keadaan normal, leukosit granulosit
yang bersirkulasi dalam darah kira – kira tiga kali jumlah yang disimpan dalam
jumlah sumsum tulang, jumlah ini sesuai dengan persediaan leukosit granulosit
selama 6 hari (Guyton 1997).
2.5. Neutrofil
Neutrofil dalam sirkulasi darah merupakan sel – sel matang yang dapat menyerang
dan menghancurkan bakteri dan virus (Guyton 1997). Pada bangsa reftil, burung,
kelinci dan amfhibi, neutrofil disebut dengan heterofil dan pada beberapa mamalia,
neutrofil merupakan leukosit utama dalanm darah (Cornel university 1996).
Neutrofil, basofil dan eusinofil diklasifikasikan sebagai polymorphornuclear cell (PMNs 2013), hal ini dikarenakan
karateristik dari intinya yang berbentuk multilobus (Anonimus, 2013)
Struktur neotrofil terdiri dari mitokondtria, sedikit badan golgi
kompleks, poliribosom, glikogen dan granula – granula, berdiameter 12 – 15 µm,
inti bergelimbir 2 – 5 yang dihubungkan oleh lapisan tipis dan sitoplasmanya
bergranula yang bersifat eosinifilik dan basofilik (Dellmann dan Eurell 1998).
Jumlah neutrofil sekitar 55 – 70% dari total leukosit dan memiliki rata – rata
330 femtoliter (f1). Pembentukan dilakukan oleh sumsum tulang bersama – sama
sel granulosit lainnya, kemudian beredar didalam sirkulasi darah atau dsimpan
di dalam poll marginal (pinggiran dalam dari pembuluh kapiler dan pembuluh
darah kecil) setelah 4 – 6 hari masa produksi (Foster et al. Tizard 1988).
Indikasi sel neutrofil yang telah matang ditandai dengan adanya inti yang
berlobus – lobus yang dihubungkan oleh filament dan lebih dikenal dengan nama
sel yang bersegmentasi (segmented cell), sedangkan
sel neutrofil yang belum matang masih memiliki satu buah lobus yang terlihat
seperti pita dan disebut neutrofil muda (bands neytrofil) (Foster et, al; Swenson
dan Reece 1993). Neutrofil band akan dilepaskan ke sistem sirkulasi selama
adanya respon granulositik (Delmann dan Eurell 1998) dan berjumlah kira – kira
sekitar 100 – 300/µ1 (Foster et al.
2013).
Neutrofil berperan sebagai garis pertahanan pertama dalam melawan
mikroorganisme asing khususnya melawan infeksi bakteri (bakteri gram negative
dan beberapa bakteri gram positif) (Delmann dan Eurell 1998; Mayer 2004). Pada
saat terjadi infeksi bakteri akut, bakteri akan merusak sel dan sel akan
melepaskan faktor kemotaktik tersebut akan
menarik neutrofil ke dalam jaringan melalui proses diapedesis dan neutrofil
akan menuju ke lokasi infeksi untuk melakukan fagositosis (Mayer et al. 1992) seperti pada gambar 6.
Setelah memfagositosis benda asing,
enzim lisosom akan mencerna benda asing tersebut kemudian neutrofil akan
mengalami otolisis dan melepaskan zat – zat hasil degradasi ke dalam sehingga
produksi neutrofil melalui jaringan limfe. Jaringan limfe akan mengeluarkan
histamin dan faktor leukopoietik (sitokin dan interleukin) yang merangsang
sumsum tulang melepaskan cadangan neutrofil sehingga cadangan neutrofil akan
meningkat.
Adapun fungsi netrofil antara lain
: (1) Fagositosis dan mengandung zat yang bersifat bakteriosidal (Duncan dan
Keith 1977). Setiap hasil fagositik akan disekresikan sebagai oksigen reaktif
dan enzim hidrolitik. (2) Melepaskan bermacam – macam prion dalam tiga tipe
granula yang disebut dengan proses degranulasi. Granula spesifik dan azurofilik
bekerja sama dalam memfagosit bakteri. (3) Berpran juga dalam koagulasi,
fibrinilosi, mengaktivasi limfosit dan stotoksik (Dlmann 1998).
Tabel.1 Tipe Granula dan Jenis Proteinnya (Dellman dan Eurell
1998)
Tipe granula
|
Protein
|
Granula Azurophilic (Primary Granules)
|
Myeloperoxidase, bakteriasidal/ meningkatkan permeabilitas protein
(BPI), pertahanan dan serine proteases neutrophil elastase dan cathepsin G
Asal hidrolik enzim dan lisosim
|
Granula Spesifik (Secondary Granules)
|
Lactoferrin dan cathelicidin
Bacterial lisosim, cationic protein, myeloperoksidase
|
Granula Tertiary
|
Cathepsin, gelatinase
|
Gambar 5 Neutrofil bermigrasi dari pembuluh darah menuju jaringan dan
menyelubungi bakteri melalui fagositosis.
Rata-rata masa hidup neutrofil yang tidak aktif pada sistem sirkulasi
sekitar 4-10 jam (anonimus 2013) sedangkan
masa hidup neutrofil yang telah bermigrasi (posisinya berdekatan dengan sel
endotel buluh darah) ke jaringan mampu bertahan selama 1-2 hari (Anonimus 2013)
Gambar 6 beberapa neutrofil pada
beberapa spesies hewan dan neutrofil muda/ neutrofil
band
2.6. Eosinofil
Eosinofil merupakan leukosit yang memiliki 2 buah lobus yang dihubungkan
oleh selaput dari materi inti dan terkadang disebut dengan acidofil. Dalam sistem
pertahanan tubuh, eosinofil bertanggung jawab dalam melawan infeksi dan parasit
juga mengontrol mekanisme yang berkaitan dengan alergi dan asma (Anonimus
2013).
Pada manusia dewasa, dalam keadaan normal, jumlah eosinofil sekitar 1-2%
atau 1 – 3% dari total leukosit (Guyton 1997), sedangkan pada hewan jumlah
eosinofil berkisar antara 1 – 4% atau kurang dari 5% dari total leukosit
(Nordenson 2002; wick 1997) dan pada bangsa kambing jumlah normal eosinofil
berkisar antara 0 – 6% dari total leukosit (Cornell University 1996).
Adapun struktur eosinofil dapat digambarkan sebagai berikut, berdiameter
12 - 17µm (Young et al. 2006),
terdiri dari nukleus polimorfik yang sedikit padat dan bersegmen (Dellmann dan
Eurell 1998) serta sitoplasmanya mengandung granula yang bersifat eosinofili.
Sebagai Eosinofil yang matang, granula azurofilik akan menghilang atau berubah
menjadi granula yang spesifik (Dellmann dan Eurell 1998). Secara umum, inti
eosinofil yang telah matang (mature eosinofhil), lebih pendek dan sedikit bersegmen
dibandingkan dengan inti neotrofil dan sitoplasma (jika terlihat), berwarna
biru muda (Cornell University 1996). Eosinofil pada ruminansia (Kambing, domba
dan sapi) memiliki jumlah granula yang sama dan yang berwarna jingga serta hampir
mengisi sel (Cornell University 1996; Dellmann dan Eurell 1998).
Sebagian besar eosinofil, dibentuk, berkembang dan matang di sumsum eosinofil
bermigrasi ke jaringan, eosinofil akan dibedakan menjadi eosinofil yang
menghasilkan sitokin interleukin 3 (IL – 5), interleukin 5 (IL – 5), dan faktor
perangsang koloni granulosit (GM – CSF) yang berasal dari respon sel prekursor
myeloid (Metcalf et al. 1986, 1987;
Yamaguchi 1988).
Berikut beberapa fungsi dari eosinofil dalam sistem pertahanan tubuh: -
Bertanggung jawab dalam melawan infeksi dan infestasi parasit pada vertebrata (Anonimus 2013).
- Mengontrol mekanisme yang berhubungan
dengan regulasi alergi dan asma serta beberapa penyakit berat (Dellmann dan
Eurell 1998).
- Memakan atau menelan pertikel asing
kedalam tubuhnya (Foster et al. 2008),
- Dalam kondisi tertentu, eosinofil juga
berperan dalam melawan infeksi virus, karena RNAnya mengandung banyak granula
dan fibrin untuk membersihkan infeksi selama terjadinya inflamasi peradangan
(Dellmann dan Eurell 1998).
- Berperan juga dalam melawan kolonisasi
cacing dalam bebtuk larva,
- Mengatur produk dari sel mast atau
basofil yang dilepaskan dalam respon terhadap stimulasi IgE. Contohnya histamin
yang dilepaskan oleh basofil atau sel mast diatur oleh histamin yang berada
dalam eosinofil (Anonim 2013).
- Mempengaruhi proses biologis lainnya,
termasuk perkembangan kelenjar mamae pada saat postbertas, siklus estrus,
penolakan allograft dan neoplasia (Rotehenberg 2008).
- Bertanggung jawab terhadap produksi –
produksi : protein granula kationik dan pelepasannya melalui degranulasi
(Trulson et al. 2007), produksi
oksigen reaktif seperti superoksida (Saito et
al. 2004), mediator lemak seperti eicasanoid dari leukotrien, misalnya, LTC₄, LTD₄, LTE₄, dan golongan prostaglandin (PGE₂) (Bendeira et al. 2002),
enzim elastase, growth promoter (pemicu pertumbuhan), msalnya TGF beta, VEGF
beta, VEGF, dan PDGF (Kato et al. 2013;
Horiuchi 1997), sitokin seperti IL-1, IL2, IL3, IL4, IL5, IL6, IL7, IL8, IL13,
dan TNF alpha (Rothenberg 2008).
Mekanisme eosinofil dalam mengatasi infeksi kecacingan dengan cara
melekatkan diri pada parasit dan membunuhnya melalui tiga cara. Pertama,
eosinofil akan melepaskan enzim hidrolitik dari granulanya yang telah
dimodofikasi oleh lisosom. Kedua, dengan melepaskan oksigen dalam bentuk yang
sangat reaktif dan bersifat mematikan. Ketiga, Eosinofil akan melepaskan suatu
polipeptida yang bersifat larvasida, protein dasar utama dari granulanya.
Eosinofil diduga mendetoksifikasi beberapa subtract pencetus peradangan yang
dilepaskan oleh sel mast dan basofil dan juga memfagositosis serta
menghancurkan kompleks antibody-allergen sehingga
penyebaran proses peradangan dapat dicegah (Guyton 1997).
Gambar 7 1ustrasi eosinofil.
Distribusi eosinofil dalam darah sekitar
20 menit dan akan bertahan selama 8 – 12 jam, kemudian masuk kedalam
jaringan dan jika tidak ada stimulasi dapat bertahan selama 8 – 12 hari (Guyton
1997; Young et al. 2006). Peningkatan jumlah eosinofil dapat terjadi
bila tubuh mengalami infeksi, misalnya
kecacingan (Guyton 1997).
2.7. Basofil
Basofil merupakan leukosit granulosit dengan jumlah yang paling sedikit,
0,5 – 1,5% dari total leukosit. Ukuran basofil 10 – 15 µm dengan inti
bergelambir 2 – 3 dan bentuknya tidak teratur, sitoplasma besar dengan inti sel
yang tidak begitu jelas terlihat dan berwarna biru tua sampai ungu (Dellmann
dan Brown 19992), serta granulanya bersifat basofilik dan akan terwarnai dengan
pewarnaan alcohol.
Basofil memiliki granula yang homogen, rER mitokondria, dan kompleks golgi
(Dellman dan Eurell 1998). Granula basofil mengandung heparian, histamin, asam hialunat, kondroitin
sulfat, serotonin dan beberapa faktor
kemotaktik. Heparin berfungsi untuk mencegah pembekuan darah dan histamin
berfungsi untuk menarik eosinofil untuk mengaktifkan heparin (Lubis 1997).
Pada tiap spesies, ukuran, jumlah dan reaksi granula terhadap pewarnaan
akan menunjukkan hasil yang berbeda – beda, misalnya basofil pada anjing sulit
untuk dikenali karena jumlahnya sedikit meskipun granulanya besar sehingga
tidak bisa terbaca dengan mudah dibandingkan basofil pada sapi dan kuda (Dellmann
dan Eurell 1998; Cornell University 1996). Basofil pada anjing memiliki ciri
yang khas, nukleus yang panjang dan melipat, digambarkan sebagai pita (ribbon – like) dan sitoplasmanya
berwarna abu-abu sampai lavender (lembayung muda), dan jarang ditemukan pada
anjing yang sehat (Cornell University 1996). Pada kucing, granula basofilnya
berbentuk batang, dan biasanya pada saat diwarnai akan berwarna orange-abu-abu
pudar (Dellmann dan Eurell 1998). Pada spesies domestik lain, basofilnya
memiliki granula yang besar, berbentuk bola atau oval, berwarna ungu
kemerah-merahan dan biasanya akan menutupi intinya (Dellmann dan Eurell 1998).
Pada kuda, ruminansia dan mamalia, basofilnya hampir sama mirip satau sama lain
(Cornell University 1996). Sel ini memiliki banyak granula-granula kecil
berwarna ungu tua dengan inti yang tidak jelas. Tanda panah pada gambar basofil
sapi berikut, menunjukkan adanya inti yang berlobus. Beberapa basofil memiliki
sedikit granula, hal ini kemungkinan terjadi karena sampel darah telah
mengalami degranulasi (Cornell university 1996).
Gambar 8 Macam-macam basofil pada hewan
domestik.
Jumlah basofil yang rendah biasanya ditemukan pada darah kuda dan sapi
yang sehat. Pembentukan basofil terjadi dalam sumsum tulang bersamaan dengan
pembentukan neuotrofil (Duncan dan Keith 1997; Jain 1993). Basofil memproduksi
antigen spesifik dan diregulasi oleh basophilopoietiens yang diproduksi dari
aktivasi limfosit T (Jain 1993). Khususnya, interleukin-5, interleukin-3, dan
GM-CSF yang mengatur produksi basofil dan sel mast, diferensiasi dan pematangan
serta memproduksi juga interleukin-4 (Denburg et al. 1991; Ebisawa et al. 1989
dalam jain 1993). Basofil dan sel mast merupakan sumber hevarin dan aktivator
lipase lipoprotein plasma (plasma lipemia pembersih agen) (Duncan dan Keith
1997). Meskipun berkembang sebagai sistem yang terpisah, namun keduanya saling
melengkapi (Dellmann dan Eurell 1998), hal tersebut karena keduanya yang
berperan dalam kondisi alergi (alergi
condition) (Mayer dan Harvery 2004). Baik basofil maupun sel mast dapat
melepaskan granulanya melalui proses kemotaksis dan secara fungsional mampu
untuk meresentesis granulanya (Dellmann dan Eurell 1998).
Dalam sirkulasi darah, morfologi
basofil mirip dengan sel mast besar karena letaknya tepat disisi luar kapiler
darah dalam tubuh. Basofil memiliki reseptor IgE yang menyebabkan terjadinya
degranulasi melalui proses eksositosis
(Dellmann dan Brown 1992). Adanya reseptor tersebut, mengakibatkan basofil
dapat membangkitkan reaksi hipersensitifitas dengan mensekresikan mediator
vasoaktif, sehingga dapat menyebabkan peradangan akut pada tempat antigen
berada (Tizard 1982). Dalam keadaan terstimulasi, basofil akan melepaskan
leukotriens dan mungkin platelet
activating factor. Mediator-mediator
tersebut akan mengakibatkan kontraksi otot halus, menginisiasi pembentukan oedema
dan dapat menyebabkan koagulasi (Mayer et
al. 1992). Selain itu pada saat terjadinya peradangan, basofil akan
melepaskan histamine dan sedikit bradikinin, serotonin sehingga menyebabkan
reaksi jaringan dengan meninfestasi alergi (Guyton 1997). Masa hidup basofil
beberapa hari sedangkan sel mast bisa berminggu-minggu sampai berbulan-bulan
(Jain 1993).
2.8. Trombosit
Platelat atau trombosit merupakan
fragmen sitoplasmik dari megakariosit, pleomorfik dan memperlihatkan variasi
dalam bentuk dan ukuran (Jain 1993). Berdasarkan bentuknya, trombosit berbentuk
bulat kecil atau cakram oval dengan diameter 2 – 4 µm (Guyton 1997). Sedangkan
menurut Jain (1993), diameter trombosit sekitar 2,5 µm dan panjang sekitar 3,5
µm.
Trombosit diproduksi dari bentuk megakariosit baru sekitar 3 – 4 hari
(Jain 1993) dengan masing-masing megakariosit dibentuk memproduksi antara 5.000
– 10.000 trombosit (Anonim 2013). Pada fetus, trombosit dibentuk dihati, limpa
dan sumsum tulang sedangkan pada mamalia dewasa, trombosit dibentuk disumsum
tulang.
Waktu paruh trombosit dalam sirkulasi darah pada masing-masing hewan
berbeda-beda, normalnya sekitar 3 – 11 hari (Jain 1993) sedangkan pada manusia
sekitar 8 – 12 hari (Guyton 1997) kemudian akan dihancurkan oleh limpa dan sel
kupffter yang berada di hati (Anonimus 2013).
Peranan trombosit selain dalam proses pembekuan darah juga berperan dalam
mempertahankan homeostasis (Guyton 1997; Jain 1993). Fungsi trombosit dapat
bersifat umum dalam beberapa katagori, yaitu : (1) Untuk berfungsi sebagai
adhesif, karena trombosit yang satu dengan yang lainnya dapat saling menempel
melalui reseptor perlekatan atau intergrins, (2) Pengumpulan, platelet-platelat
yang distimuli oleh aktivasi dari thromboxane
dan a2 receftor. Tetapi stimulasi
atau rangsangan tersebut dapat dihambat oleh produksi inflamatori lainnya
seperti PG12 dan PGD2, dan (3) Fagositosis (Movat et al. 1965)
Jumlah normal trombosit pada manusia sehat sekitar 15.000-400.000/mm3 dari
total darah (150-400x10⁹/L) sedangkan pada hewan jumlah total
trombosit berbeda-beda, berikut jumlah normal pada masing-masing hewan.
Tabel. 2 jumlah trombosit normal pada masing-masing hewan
Komponen Darah
|
Canine
X 109/L
|
Feline
X109/L
|
Equine
X 109/L
|
Bovine
X 109/L
|
Caprine
X 109/L
|
Porcine
X 109/L
|
Trombosit1)
|
117-418
|
93-514
|
160-650
|
83-270
|
|
325-700
|
Trombosit2)
|
179-483
|
201-523
|
98-246
|
232-596
|
245-975
|
|
1) sumber : http://www.uoguelph.ca
2) sumber :
http//www.diaglab.vet.cornel.edu
Jumlah trombosit yang melebihi batas normal disebut dengan thrombocytosis
atau thrombosis sedangkan jumlah trombosit dibawah normal disebut
trombositopenia. Baik thrombocytosis maupun trombositopenia mungkin berkaitan
masalah koagulasi. Penyebab umum trombositosis adalah adanya kelainan
myeloproliferatif (Anonimus 2013). Sedangkan penyebab trombositopenia anatara
lain: (1) Penyebab umum yaitu, meningkatnya pendarahan (kecuali heparin-induced thrombocytopenia immun
), (2) Penurunan produksi thrombopoietin oleh hati. Hal ini terjadi karena
adanya liver failure, spesies,
infeksi virus atau bakteri sistemik, (4) Demam berdarah karena penyakit ini
dapat menginfeksi langsung pada sumsum tulang megakariosit sebagai pertahanan
trombosit secara imunologis (Anonim 2013).
Sel darah merah atau eritrosit yang
berasal dari bahasa yunani (eritro =
merah, sit = sel). Eritrosit adalah sel-sel yang diameter
rata-ratanya sebesar 7,5µ, dengan spesialisasi untuk pengangkutan oksigen. Sel-sel ini merupakan cakram (disk)
yang bionkaf, dengan pinggiran sirkuler yang tebalnya 1,5µ dan pusatnya yang
tipis (Frandson, 1993).
Menurut sukaryorini (2006), Eritrosit
adalah sel darah yang mengandung Hemoglobin
(Hb). Hemoglobin merupakan protein
yang mengandung zat besi yang berkonjugasi (heme
+ globin). Hemoglobin akan berfungsi
dengan baik bila masih berada dalam eritrosit.
Oleh karena itu fungsi utama eritrosit
sama dengan fungsi hemoglobin, yaitu
mengikat oksigen dari paru-paru dan membagikan keseluruh jaringan tubuh,
sebaliknya mengikat karbbondioksida dari seluruh jaringan ke paru-paru. Secara
umum Gambaran darah normal dapat telihat pada
Tabel 1 Gambaran Darah Normal Pada
Ternak Kambing Sebagai Berikut:
1
|
RBC (Sel Darah Merah)
|
8.0 - 18.0x10
|
2
|
PCV (Packed CEl Volume)
|
19 - 38%
|
3
|
HB (Hemoglobin)
|
8 – 14 g / 10 m
|
4
|
MCV (Mean Corpuscular Volume)
|
15 – 30 µ
|
5
|
MCH (Mean Corpuscular Haemoglubin)
|
10 – 12,6 µ µ gr
|
6
|
MCHC (Mean Corpuscular Haemoglobin Cell)
|
35 – 42 %
|
Sumber : midway (1969)
Adanya Haemoglobin di dalam eritrosit memungkinkan timbulnya
kemampuan untuk mengangkut oksigen, serta menjadi penyebab timbulnya warna
merah pada darah. Dari segi kimia, Haemoglobin
suatu senyawa organik yang
kompleks yang terdiri dari empat pigmen porfirin merah (heme), masing-masing mengandung
atom besi ditambah globin, yang
merupakan protein globular yang terdiri dari rantai asam-asam amino. Hemoglobin bergabung dengan oksigen
udara yang terdapat didalam paru-paru, hingga terbentuklah oksihemoglobin (HBO2), yang selanjutnya melepaskan oksigen itu ke
sel-sel jaringan di dalam tubuh. Adanya Hemoglobin, darah dapat mengangkut sekitar 60 kali
oksigen lebih banyak dibandingkan dengan air dalam jumlah dan kondisi yang sama
(Frandson, 1993). Hitungan darah menyajikan prosedur Laboratorium yang berguna
untuk memperkirakan jumlah dan jenis-jenis sel dalam darah yang bersirkulasi
dalam tubuh hewan pada waktu tertentu. Hitungan total dinyatakan dalam jumlah
sel dalam milimeter kubik darah. Hitungan ini berlaku baik untuk sel darah
merah ataupun sel darah putih, walaupun teknik dan peralatannya agak berbeda.
Hitungan sel darah merah total ditentukan dengan mengencerkan suatu jumlah
darah dengan menggunakan suatu jenis pengencer darah tertentu di dalam suatu pipet sel merah untuk
menghasilkan suatu larutan satu bagian darah dengan 200 bagian cairan pelarut.
Darah
Beserta cairan pelarut. Darah beserta cairan pelarut itu dicampur merata
didalam suatu pipet khusus, dan kemudian dimasukkan kedalam suatu ruang suatu
penghitung dari suatu slide yang khusus, dan kemudian dimasukkan ke dalam suatu
ruang penghitung dari suatu slide yang
khusus, dengan kedalaman 0,1 mm, satu millimeter persegi ruang hitung terbagi
menjadi 400 bujur sangkar yang lebih kecil. Sel-sel merah dihitung jumlahnya
didalam 400 bujur sangkar atau suatu bagian tertentu dari padanya. Jumlah
sel-sel merah yang terhitung dikalikan
dengan angka yang sesuai untuk mendapatkan keseluruhan sel merah didalam
satu millimeter kubik darah yang terencerkan, dan angka itu kemudian dikalikan
dengan pengenceran untuk mendapatkan jumlah sel-sel merah dalam satu millimeter
kubik darah asli (Frandson, 1993).
BAB III
MATERI DAN METODE PENELITIAN
3.1.
Pendekatan Penelitian
Pendekatan adalah suatu cara untuk
mencari jawaban dari rumusan masalah . Pendekatan dalam suatu penelitian
tergantung gejala yang akan diteliti, apakah gejala itu dirancang cara khusus untuk diselidiki ataukah gejala
yang diselidiki telah ada secara wajar (Arikunto, 2002). Apabila penelitian
yang bertujuan untuk mencari hubungan antara dua variable yang tidak mempunyai
hubungan kausal (sebab akibat), atau hubungan fungsional sebagai fenomena untuk
mencari faktor-faktor apa, atau situasi sebagaimana yang menyebabkan timbulnya
suatu peristiwa tertentu, maka digunakan penelitian study regresi linear
sederhana, karena ingin mengetahui jumlah telur antara cacing telur cacing Haemonchus sp. dengan jumlah Sel darah
putih dan PCV.
3.1.2.
Populasi dan Sampel
1.
Populasi Penelitian
Populasi adalah keseluruhan subyek
penelitian (Arikunto, 2002). Apabila seseorang ingin meneliti semua elemen yang
ada dalam wilayah penelitian , maka penelitiannya disebut penelitian populasi.
Pendapat lain mengatakan bahwa
“piopulasi merupakan seluruh data yang menjadi perhatian dalam suatu ruang
lingkup dan waktu yang kita tentukan” (Azwar dan Prihartono, 2003).
Yang dijadikan populasi dalam penelitian
ini adalah kambing kacang yang ada di Kecamatan Kuripan Kabupaten Lombok Barat.
2.
Sampel Penelitian
Sampel merupakan bagian dari populasi
yang dikenai penelitian. Azwar (2003) berpendapat karena tidak mungkinnya
penyelidikan selalu langsung menyelidiki segenap populasi, maka penelitian
menggunakan sebagian saja dari populasi yakni sebuah sampel, yang dianggap
refresentatif terhadap populas itu. Hal serupa dikemukakan oleh Arikunto (2002)
bahwa, jika kita hanya meneliti sebagian dari populasi, maka penelitian ini disebut penelitian sampel.
Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang akan diteliti.
Apabila sampel penelitian yang sifatnya
homogen maka jumlah sampel tidak terlalu banyak (Azwar dan Prihartono, 2003).
Jumlah sampel yang digunakan sebanyak 22 sampel pada petani ternak dengan
menggunakan metode random (acak), 1,6 – 1,8 bulan dan jenis kelamin yang sama.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Diskriptif. Penelitian
ini dimulai bulan agustus 2013 – oktober 2013. Pemeriksaan elur cacing
diperiksa dilaboratorium Balai karantina Pertanian Kelas 1 Mataram, Wilayah
Kerja Lembar.
3.1.3. Alat
Dan Bahan
1.
Alat Untuk Pemeriksaan Sampel Tinja
Alat-alat yang dipergunakan dalam
pemeriksaan sampel tinja antara lain:
1. Mikroskop
2. Whitlock chamber
3. Tabung feces
4. Gloves (sarung tangan)
5. Pipet
6. Timbagan elektrik
7. bola-bola gir
2. Bahan-bahan
Bahan-bahan yang dipergunakan dalam
sampel tinja antara lain:
1. Tinja sebanyak 1,25 gram yang diambil
langsungdidalam rektumnya.
2. Formalin 10%
3. Air
4. NaCl jenuh
2.
Alat-alat untuk pemeriksaan Sampel Darah
Alat-alat yang dipergunakan dalam
pemeriksaan sampel darah antara lain:
1. Tabung serologis kapasitas 5 ml
2. Spuit 1 ml / 5 ml
3. 1 set hemocytometer yang berisi:
1. 1
Kamar hitung buerker Thoma atau Neurbaur
2. 1 pipet leukosit yang bersekala 0 – 0,5 – 1 – 10
3.
Bahan-bahan
Bahan-bahan yang dipergunakan dalam pemeriksaan sampel darah antara lain:
1. Darah kambing
2. Suspensi darah kambing 1%
3. Kertas bersih (non absorbent)
4. Kertas saring
5. Larutan Hayen
R/Hg Chlorida 0,5 g
Na Chlorida 1,0 g
Na Sulfat krist 5,0 g
Aquadest ad 200,0 ml
3.2.Metode
3.2.1.
Metode Pemeriksaan Sampel Tinja
Metode yang digunakan dalam pemeriksaan
sampel tinja dalam penelitian ini adalah metode apung. Cara kerja pemeriksaan
sampel tinja adalah sebagai berikut:
1. Timbang 1,25 gram tinja dalam
sedimentasi flask.
2. Masukkan tinja ke dalam tabung feces
yang telah diberi bola-bola gir serta tambahkan sebnyak 15 ml air dan dikocok
hingga homogen
3. Tambahkan NaCl jenuh hingga volume
keseluruhannya mencapai 50 ml, kocok kembali hingga homogen.
4. Ambil dengan menggunakan pipet dan
masukkan kedalam kolom-kolom whitlock chamber yang ada, kemudian secara
perlahan merembeskannya pada bagian mulutn chamber serta hindari terbentuknya
gelembung udara.
5.
Identifikasi jumlah telur cacing
Haemonchus sp. dibawah mikroskop cahaya dengan perbesaran 40 X.
Total perhitungan jumlah telur cacing
= Jumlah telur cacing x 16
3.2.2. Cara Kerja Pemeriksaan Sampel Darah
Setelah sampel diambil dan dikumpulkan
selanjutnya dilakukan pemeriksaan sel darah putih di Labopratorium Balai
Karantina Pertanian Kelas 1 Mataram, Wilayah Kerja Lembar dengan tahapan
sebagai berikut:
1. Darah diambil dengan pipet untuk Leukosit sampai tepat dibatas garis 0,5.
Apabila darah di sedot melewati garis batas ini, keluarkan darah yang lebih
dengan mengusap ujung pipet pada kertas saring atau pada ujung jari.Bersihkan
ujung pipet dengan kertas non absorbent. Lakukan dengan cepat dan hati-hati
2. Larutan pengencer Leukosit disedot kedalam pipet sampai garisbatas 101 batas bola,
dengan demikian diproleh pengenceran 1:200.
3. Kocok pipet pengencer selama 3 menit
yaitu dengan menempatkan pipet ini mendatar antaraibu jari dengan dengan jari
tengah. Kedua jari I ni menyambung ujung-ujung pippet, kemudian pegelangan
tangan membentuk gerakan seperempat
lingkaran (membentuk angka 8)
4. Buang cairan yang tidak mengandung Leukosit 2 – 3 tetes.
5. Isikan kedalam ruang hitung yang sudah
ada cover glasnya kemudian diamkan be berapa menit untuk pengendapan selnya.
6. Periksa dibawah mikroskop dengan
perbesaran obyektip 10 X.
7. Hitung semua Leukosit yang terdapat dalam
bidang kecil R1, R2, R3, R4 dan R5
8. Penghitungan dimulai dari sudut kiri ke
atas, terus kekanan kemudian turun ke bawah dan mulain lagi dari kanan kekiri.
9. Sel-sel yang menyinggung garis batas
sebelah atas dan kiri ikut dihitung, sebaliknya sel-sel yang menyinggung garis
batas sebelah bawah dan kanan tidak ikut dihitung.
Gambar 3.
Kamar Hitung Neurbaur.
Keterangan
W =Sel darah putih
R
=Sel Darah Merah
Contoh perhitungan sel darah putih
diperoleh saat pemeriksaan di kamar hitung:
-
Kiri atas
(RI) =25
-
Kiri bawah
(R4) =25
-
Kanan atas
(R2) =25
-
Kanan bawah (R3) =25
-
Tengah
(R5) =25
Sel yang terhitung
=125
Perhitungan:
Pemgenceran 200 X
Sel yang terhitung x 10 (0,1 mm dalam) x 5 (1/5 dari 1 mm³) x
200 (1 : 200) = Jumlah Leukosit / mm³.
3.2.3. Variabel Yang Diamati Adalah:
Jumlah antara telur Cacing Haemonchus
sp. dengan jumlah Sel darah putih dan PCV
3.3. Analisis Data
Untuk menghitung antara jumlah telur cacing Haemonchus sp. dengan jumlah Sel darah putih dan PCV pada kambing Kacang maka digunakan rumus
analisis regresi linear sederhana sebagai berikut:
Y = a + b X
Dimana:
Y = Subyek dalam variable dependen yang
dprediksikan
A = Harga Y bila X = 0 (harga konstan)
B = Angka arah / koefisien regresi, yang
menunjukkan angka penigkatan ataupun penurunan variable dependen yang
didasarkan pada variable independen. Bila b
(+) maka terjadi kenaikan jumlah telur cacing, dan bila (-) maka terjadi penurunan.
X = Subyek pada variable independen yang
menpunyai nilai tertentu.
DAFTAR PUSTA
Akhmad Sodik, MSC. AGR., dan Zainal
Abidin. 2002. Kambing Peranakan Etawa
Susu. C.et. I. Agro Media Pustaka. . Jakarta.
Albers, G.A.A. and LeJambre, L.F. 1983.
Erythrocyte potassium concentration:a simple parameter for erythropoiesis in Goatbinfectad
with Haemonchus contortus. Research
in Veterinary Science, 35:275-276.
Altaif, K.I. and J.D. Dargie.1978a. Genetic resistance to
helminthes. The influence of breed and
hemoglobin type on the response of Goat to re-infection with Haemonchus contortus. Parasitology,
77:161-175.
Angus, M.D. 1978. Veterinary
Helminthology. II ed. London. Pp 184.
Arifin, C. dan Soedarmono. 1982. Parasit
ternak dan cara-cara pnanggulangannya. P.T. Penebar Swadaya, Jakarta hal 7-11.
Arifin, M.Z. 1982. Pengaruh infestasi Haemonchus contortus (Rudolphi, 1803)
Pada gambaran darah Kambing lokal. Tesis. FPS-IPB.
Ayalew, L. and Murphy, B.E.P. 1986. In
vitrodemonstration of in utero larval development in an opivarous parasitic
nematode: Haemonchus ontortus. Parasitology,
93:371-381.
Banks, A.W. 1958. Epidemiology of
helminth infection in Goat. South Australian aspects. Austral. Vet.J.34:20-26.
Blood, D.C.and J.A. Henderson. 1979.
Veterinary Medicine.IV ed. Bailliere Tindall and Cassell Ltd. London.pp.
642-645.
Beriajaya. 1986. Pengaruh albendazole
terhadap infeksi cacing nemattoda saluran pencernaan pada kambing local di
daerah Cirebon. Balai Penelitian Veteriner, Bogor. Hal 54-57.
Buerno, L; A. Dakkak and J. Fioramonti. 1982.
Gastro-duodenal and transit disturbances associated with Haemonchus contortus infection in Goat. Parasitology 84:367-374.
Chotiah, Siti. 1983. Penyidikan
infestasi Haemonchus contortus. Pada
sapi, kerbau, kambing dan domba di lampung tengah dan lampung selatan. Laporan
tahunan hasil penyidikan penyakit hewan di Indonesia perode tahun 1981-1982.
Direktorat Kesehatan Hewan, Ditjennak, Deptan, Jakarta. Hal. 15-23.
Clark, P.R. 1977. Animal Parasitism.
Prentice-hall of India Private Limited. New Delhi. Pp 113.
Courtney, C.H; C.F. Parker; K.F. McClure
and R.P. Herd. 1985. Resistence exotic and domestic lambs to experimental
infection with Haemonchus contortus. Parasitology
15:101-109.
Dakkak, A; J. Fioramonti: L. Bueno.
1981. Haemonchus contortus third
stage larvae in goat:kinetics of arrival
into the abomasum and transformation during rumino-omasal transit. Research in
Veterinary Science 31 :384-385.
Dargie, J.D. 1973. In Helminth Diseases
of cattle, goat and horse in Europa.
University Press, Glasgow.
Dargie, J.D. and E.W. Allonby. 1975. Pathophysiology of single and
challenge infections of Haemonchus contortus in Merino
goat;studies on red cell kinetics and the “self cure” phenomenon. International
Journal for Parasitology 5:147-157.
Direktorat Jenderal Peternakan. 1974.
Evaluasi pengamanan ternak Pelita I. Direktorat Kesehatan Hewan, Deptan.
Jakarta.
Eysker, M. 1979. The Possible Fate of
Crystal Harbouring Larvae of Haemonchus contortus. Research im
Veterinary Science 26: 115-116.
Faust, E.C. and P.F. Russell. 1971.
Craig and Faust’sParasitology. 8th ed. Lea and Febriger, Philadelphia.pp 320-322.
Ganong, W.F. 1979. Fisiologi Kedokteran
(review of medical physiology) ed 9. Lange Medical Publication.pp 443-509.
Gibson, T.E. 1963. The Influence of
nutrition on the relationship between gastro-intestinal parasites and their
host. Proceeding of the Nutrition Society 22:15-20.
Gordon, H. McL. 1948b. The Epidemiology
of Parasitic Disease, with Special Refrence to Studies with Nematode Parasites
of Goat. Austral. Vet. J.24:17-44.
Bandeira-Melo C, P Bozza, P Waller.
2002. The Cellular biology of eosinofil eicosanoid formation and function. J
Allergy Clin Immunol 109: (3): 393-400. PMID 11897981. [22 April 2013].
Cahyono B. 1998. Beternak kambing dan
domba. Yogya: Kanisius.
Cohen, Stephen, Ricard C Burns. Pathways of the Pulp. 8th
Edition Edition. St. Louis: Mosby, Inc. 2002. Page 465. [22 april 2013].
[Cornel University]. 1996. Clinical Pathologi section – NYS Animal
Health Diagnostic Laboratory. http://www.popmed.
Vet.Cornell.edu.htm. [23 Desember 2013]
[Cornell University]. 1996. Clinical
Pathology Section-modules lymphocyte.
[Cornell University]. 1996. Clinical
Pathology Section - Modules neutrofil.
[Cornell University]. 1996. Clinical Pathology Section – Mpodules
eosinofhil.
[Cornell University]. 1996. Clinical Pathology Section – Modules
basofhil
Delmann HD, Brown EM. 1992. Histologi Veteriner. Edisi ketiga.
Jakarta: UI Press.
Dellmann HD, Jo Ann Eurell. 1998. Textbook of Veterinary Histology. Carrol
Cann, editor. Lippincot Williams & Wilkins.
Dunn P. 1994. Goat Keepers Veterinary book. USA: Farming Press.
Effendi Zukesti. 2003. Peranan leukosit sebagai AntiInflamasi
Alergik dalam Tubuh
Frandson R.D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. B. Srigandono dan Koen Praseno,
penerjemah; Yogyakarta : Gadjah Mada Univ Press. Terjemahan dari: Anatomy
and Physiology of Farm Animals.
Foster Race, Marthy Smith, Hooly Nash.
2013. Complete Blood Count.
[Guelph Univercity]. 2013. AHL User’s Guide – Hematology Refrence
Intervals.
Gall C. 1981. Goat Production. New York acedemik Press INC LTD.
Ganong WF. 1999. Fsiology Kedokteran. Edisi ke-17. Adji Dharma, Penerjemah.
ECG. Jakatta : Penerbit Buku Kedokteran,
ECG. Jakarta. Terjemahan dari : Review of
Med8ical Physiology.
Guyton AC. 1997. Buku ajar Fisiologi
Kedokteran. Edisi 9. Irawati Setiawan,
Penerjemah. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran, ECG. Jakarta :
TextBook of Medical Physiology.
Hartono. 1989. Histologi Veteriner.
Pusat antar Universitas. IPB.
Haen PJ. 1995. Principles of Hematology. Harris L, editor. Chicago : Loyola
Marymont Univercity. Wm. C. brown Publisher.
Horiuchi T, P Waller. 1997. Expression of fascular endothelial Growth
factor by human eosinofhils: upregulation by granulacyte macrophage colony
stimulating factor and interleukin-5. Am J Respir Cell Mol Biol 17 (1):
70-7.PMID 9224211. [23 Desember 2013]
Jain NC. 1993. Essential of Veterinary Hmatology. USA : Lea and Fabiger.
Jansson Leif. 2013. Semeser 4 lectures
medice. Uppsala Univercity. [23 Desember 2013]
Junqueira Lcarrlos. 1997. Basic Histology. 8th edition.
Jiang N, NS Tan, B Ho, JL Ding. 2007 respiratory protein-generated reactive
oxygen species as an antimicrobial strategy. Nature Immunology. PMID
17721536. [23 Desember 2013].
Janeway, Charles, Paul Travers, Mark
Walport, Mark Chlomchik. 2001. Immunobiology;
Fifth Edition. New York and London: Gerland Science.
ISBN 0-8153-4101-6. [23 Desember 2013]
Kato Y et al. Leukotriene D4 induces production of transforming growth
factor-beta 1 by eosinofhils. Int Arch Allergy Immunol 137 Supple 1: 17-20.
PMID 15947480. [23 Desember 2013].
Lancraft, M Thomas. 2013. Cardiovascular
system (Blood).
Lubis S. 1993. Diferensiasi leukosit pada infeksi eimeria tenela dengan sediaan
ulasdarah tipis. [Skripsi]. Bogor: Fakultas kedokteran Hewan , Institut
Pertanian Bogor.
Maton, Anthea et al human biology and healt. Englewood Cliffts, New Jersey,
USA: Prentice Hall. ISBN 0-13-981176-1.
[23 Desembr 2013].
Macer VJ. 2003.Veterinary Clinical Laboratory Technique.
Metcal FD. 2013. Leukosit. http://www.en.
Anonim.org. [23 Desember 2013].
Metcalf D, C Begley, N Nicola, G Johnson.1987.
Quantitative responsiveness of
Murine hemopoeitic populations in vitro and in vivo to
recombinant multi-CSF (IL-3). Exp Hematol 15 (3): 288-95. PMID 3493174. [23
desember 2013]
Mayer DJ, Coles EH and Rich LJ. 1992. Veterinary Laboratory Interpretation and
Diagnosis. WB Saunders Company, Philadelphia.
Mayer DJ, Jhon W. Harvey. 2004. Veterinary Laboratory Interpretation and
Diagnosis. 3th Edition. WB Saunders Company, Philadelphia.
Movat H.Z et al. 1965. Platelat
Phagositosis and Aggregation. Journal of Cell Biology 27: 531-543 [23
Desember 2013].
Nordenson NJ. 2002. Whit Blood Cell
Count and Differential.
Rothenberg M, Hogan S. The eosinophil. Annu Rev Immunol 24:
147-74. PMID
16551246. [23 Desembeer 2013].
Saito K, Nagata M, Kikuchi I, Sakamoto
Y. 2004. Leukotriene D4 and eosinophil
transendothelial migration, superoxide generation, and degranulation via beta2
integrin. Ann Allergy Asthma Immunol 93 (6): 594-600. PMID
15609771. [23 Desember 2013].
Sastradipradja D. et al. 1989. Penuntun
Peraktikum Fisiologi Veteriner. Pusat Antara Universitas. IPB.
Shi H. 2004. Eosinophil function as antigen-presenting cell. J Leukoc Biol 76
(3): 520-7.PMID 15218055. [23 Desember 2013].
Swenson MJ. 1984. Duke’s physiology of Domestik
Animal. 10th Edition. Cornell University Press, Ithaca and
London.
Swenson MJ. 1984, Reece WO. 1993. Duke’s Physiology of Domestik Animal. 7th
Edition Cornell University Press, Ithaca and London.
Swenson J Malvin, William RO. 1993. Duke’s Physiology of Domestik Animal. 11th
Edition. Cornell University Press, Ithaca and London.
Tizard I 1982. Pengantar Immunologi veteriner. Surabaya: Airlangga University
Press.
Tizard I. 1988. Pengantar Immunologi veteriner. Surabaya: Airlangga University
Press.
Trulson A, Bystrom J, Engstrom A,
Larsson R, Venge P. 2007. The functional
heterogeneity of eosinophil cationic is determinate by a gene polymorphism and
post-translation modification. Clin Exp Allergy 37 (2): 208-18. PMID
7250693. [23 Desember 2013].