Selasa, 28 Januari 2014

Makalah HAKIKAT DAN LATAR BELAKANG PENGEMBANGAN BAHASA INDONESIA

KATA  PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul Hakikat dan Fungsi Bahasa Indonesia” ini dapat diselesaikan pada waktu yang telah ditentukan.
Tak lupa pula sholawat dan salam penulis sampaikan kepada junjungan Alam Nabi besar Muhammad SAW. yang telah membawa kita dari zaman yang tidak bermoral dan tidak mengenal iman dan pada akhirnya memperkenalkan kita dunia yang indah, penuh berkah, dan diridhoi oleh Allah SWT. yaitu Islam.
         Penulis menyadari bahwa keberhasilan penyusunan karya tulis ilmiah yang berjudul ”Hakikat dan Fungsi Bahasa Indonesia” ini tidak terlepas dari bantuan,bimbingan dalam informasi-informasi yang sangat bermanfaat, dan bimbingan dalam bentuk saran dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu secara langsung maupun tidak langsung dalam pembuatan karya tulis ilmiah ini.

Semoga segala kebaikan dan pertolongan semuanya mendapatkan berkah dari Allah SWT. Akhir kata penulis mohon maaf apabila masih banyak kekurangan dalam penulisan karya tulis ilmiah ini. Semoga karya tulis ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan. AMIIN.


           

Mataram,02 Januari 2014

         

                                                            Penulis,           





DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...............................................................................        i
KATA PENGANTAR.............................................................................        ii
DAFTAR ISI...........................................................................................        iii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................        1
1.1 Latar Belakang Pendahuluan..........................................................        1
1.2 Perumusan Masalah........................................................................        1
1.3 Batasan Masalah.............................................................................        1
1.4 Tujuan Penelitian............................................................................        2
1.4.1 Tujuan Penelitian secara Teoritis .................................................        2
1.4.2 Tujuan Penelitian secara Praktis...................................................        2
1.5 Manfaat Penelitian..........................................................................        2
1.5.1 Manfaat Penelitian secara Umum................................................        3
1.5.2 Manfaat Penelitian secara Khusus...............................................        3
  BAB II KAJIAN PUSTAKA...............................................................        4
  BAB III PEMBAHASAN....................................................................        6
  BAB IV PENUTUP..............................................................................        16
               4.1 Simpulan..........................................................................................        16
               4.2 Saran................................................................................................        17
  DAFTAR PUSTAKA............................................................................        18



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Bahasa adalah suatu sistem dari lambang bunyi arbitrer (mana suka)  yang dipergunakan oleh anggota masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi / mengidentifikasi diri. (Kridalaksana,1993). Menurut Keraf (1984:17) Bahasa adalah alat komunikasi antar anggota masyarakat, yang berupa lambang bunyi suara, yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Istilah bahasa tentu bukan merupakan hal yang baru bagi kita. Istilah tersebut setiap saat selalu kita dengar, baca, atau bahkan digunakan untuk berkomunisi secara lisan maupun tulisan. Bukan hanya itu, hampir setiap saat dalam kehidupan sehari-hari, kita menggunakan bahasa atau berbahasa. Begitu seringnya kita menggunakan istilah bahasa atau menggunakan bahasa maka terkadang kita lupa untuk memahami apa sesungguhnya hakikat dan fungsi bahasa itu. Pada hakikatnya bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional Indonesia dan sarana untuk berkomunikasi antar sesama manusia. Untuk itu sangatlah penting mempelajari hakikat dan fungsi bahasa Indonesia.

1.2    Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas maka, masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.      Apa yang dimaksud dengan hakikat bahasa?
2.      Apa saja fungsi bahasa Indonesia?
3.      Bagaimana latar belakang pengembangan Bahasa Indonesia?

1.3   Batasan Masalah
Batasan dari materi yang bahas oleh penulis dalam makalah ini hanya mencangkup hakikat bahasa yang menurut para ahli dan fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan sebagai bahasa negara. Serta bentuk latar belakang pengembangannya.

1.4  Tujuan Penelitian
      Tujuan penelitian dari penulisan ini adalah:
1.      Menjelaskan tentang pengertian hakikat bahasa
2.      Menjelaskan sifat-sifat dari bahasa itu sendiri
3.      Menjelaskan fungsi bahasa Indonesia.
4.      Menjelaskan latar belakang pengembangan bahasa Indonesia

                 1.4.1  Tujuan penelitian secara teoritis
Dari uraian yang di atas, tujuan teoritis dari penelitian ini,diharapakan penelitian ini dapat memberikan manfaat yang terhadap dunia pendidikan terutama dunia bahasa sastra Indonesia dan daerah tentang hakikat bahasa yang dipakai selama ini,memberikan pengetahuan apa fungsi bahasa Indonesia,dan latar belakang pengembangan bahasa Indonesia.

                   1.4.2  Tujuan penelitian secara praktis
Dari urain di atas, adapun tujuan praktis dari penelitian ini,diharapkan dapat menambah pengetahuan kepada mahasiswa,guru dan masyarakat tentang hakikat bahasa,fungsi bahasa Indonesia,dan latar belakang pengembangannya.

1.5    Manfaat penelitian
Diharapkan dengan adanya penelitian tentang hakikat dan fungsi bahasa Indonesia ini,mahasiswa dan masyarakat mengetahui hakikat dari bahasa yang dipakainya selama ini dan mereka mengetahui fungsi dari bahasa Indonesia yang kita gunakan sebagai alat untuk berkomunikasi dan latar belakang pengembangannya.

1.5.1  Manfaat penelitian secara umum
Bagi masyarakat dengan adanya penelitian ini masyarakat,guru,dan sekolah lebih memahami tentang hakikat bahasa secara mendetail menurut para ahli dan mengetahui fungsi dari bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan sebagai bahasa negara.

             1.5.2  Manfaat penelitian secara khusus
Bagi mahasiswa untuk menambah wawasan tentang hakikat  bahasa secara mendetail,fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara dan tentang latar belakang pengembangan bahasa Indonesia saat ini.




BABII
KAJIAN PUSTAKA

Hakikat bahasa mengacu pada pembicaraan sistem/struktur atau Langue, sedangkan fungsi bahasa menyangkut pula pembicaraan proses atau parole (Saussure, 1993, Kleden, 1997:34). Tarigan (1990) mengemukakan adanya delapan  prinsip dasar hakikat bahasa, yaitu (1) bahasa adalah suatu sistem, (2) bahasa adalah vokal, (3) bahasa tersusun daripada lambang-lambang arbitrari, (4) setiap bahasa bersifat unik, (5) bahasa dibangun daripada kebiasaan-kebiasaan, (6) bahasa ialah alat komunikasi, (7) bahasa berhubungan erat dengan tempatnya berada, dan (8) bahasa itu berubah-ubah. Hubungan kedekatan yang tidak dapat dipisahkan antara sistem dengan proses ini dilukiskan oleh Kleden dengan kalimat: ’Tanpa proses sebuah struktur (sistem) akan mati, tanpa struktur (sistem) proses akan kacau’. Jadi, antara hakikat bahasa dan fungsi bahasa itu sendiri merupakan suatu konsep dua fungsi bahasa.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional adalah salah satu fungsi dari bahasa Indonesia. Undang- Undang Dasar RI 1945 Bab XV (Bendera, Bahasa, dan lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan) Pasal 36 menyatakan bahwa “Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia”. Maka kedudukan bahasa Indonesia sebagai  bahasa nasional dan bahasa negara. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional: lambang kebangsaan nasional, lambang identitas nasional,alat penghubung antar budaya dan antar daerah,dan  alat pemersatu berbagai masyarakat yang berbeda-beda latar belakang sosial budaya dan bahasanya. bahasa pengantar resmi dilembaga-lembaga Bahasa Indonesia sebagai bahasa negara,dalam hasil Perumusan Seminar Politik Bahasa Nasional yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 25-28 Februari 1975 dikemukakan bahwa di dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia befungsi sebagai : bahasa resmi kenegaraan, bahasa resmi di dalam perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintah, dan bahasa resmi di dalam pengembangan kebudayaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan serta teknologi modern. pengembangan bahasa Indonesia adalah masalah nasional yang jalinannya sangat kompleks yang harus ditangani sedemikan rupa, sehingga pengembangan tersebut dapat memanfaatkan kemultilingualan itu menjadi sesuatu yang menguntungkan perkembangan bahasa itu sendiri. Peningkatan pengembangan bahasa harus  dilakukan sedemikian rupa sehingga bahasa kita itu cukup memenuhi syarat sebagai bahasa kebudayaan, keilmuan, dan teknologi atas dasar standardisasi atau pembakuan bahasa. Standardisasi bahasa dilakukan dengan mempertimbangkan data kebahasaan di Indonesia melalui evaluasi dan seleksi. Hasil akhir dari kegiatan pengembangan bahasa tersebut merupakan bahasa baku.

BABIII
PEMBAHASAN

A.  Hakikat Bahasa
Tarigan (1990) mengemukakan adanya delapan  prinsip dasar hakikat bahasa, yaitu (1) bahasa adalah suatu sistem, (2) bahasa adalah vokal, (3) bahasa tersusun daripada lambang-lambang arbitrari, (4) setiap bahasa bersifat unik, (5) bahasa dibangun daripada kebiasaan-kebiasaan, (6) bahasa ialah alat komunikasi, (7) bahasa berhubungan erat dengan tempatnya berada, dan (8) bahasa itu berubah-ubah. Bahasa dapat dilihat dari dua aspek, yaitu hakikat dan fungsinya (Nababan, 1991:46). Hakikat bahasa mengacu pada pembicaraan sistem/struktur atau Langue, sedangkan fungsi bahasa menyangkut pula pembicaraan proses atau parole (Saussure, 1993, Kleden, 1997:34). Hubungan kedekatan yang tidak dapat dipisahkan antara sistem dengan proses ini dilukiskan oleh Kleden dengan kalimat: ’Tanpa proses sebuah struktur (sistem) akan mati, tanpa struktur (sistem) proses akan kacau’. Jadi, antara hakikat bahasa dan fungsi bahasa itu sendiri merupakan suatu konsep dua fungsi bahasa.
Manusia adalah makhluk sosial, sehingga manusia perlu berinteraksi dengan manusia lainnya. Pada saat manusia membutuhkan eksistensinya diakui, maka interaksi itu terasa semakin penting. Kegiatan berinteraksi ini membutuhkan alat, sarana atau media, yaitu bahasa. Sejak saat itulah bahasa menjadi alat, sarana atau media.
Hakikat bahasa sama halnya dengan menjawab pertanyaan tentang: “Apa sebenarnya bahasa itu?” Pada dasarnya bahasa merupakan rangkaian bunyi yang melambangkan pikiran, perasaan serta sikap. Pengertian bahasa jika dijawab melalui tiga sudut pandang, yakni:
      1.      Bahasa sebagai istilah
Sebagai istilah, bahasa dapat memiliki pengertian yang bersifat umum-khusus dan abstrak-konkrit. Secara umum, pengertian bahasa dalam kalimat itu memiliki pengertian yang luas karena meliputi berbagai macam bahasa (Inggris, Prancis, Jepang, Indonesia, dan sebagainya). Bahasa dalam arti khusus, hanya merujuk pada bahasa tertentu. Misalnya, “bila orang mengatakan manusia memiliki bahasa”, pengertian bahasa dalam kalimat ini memiliki pengertian yang luas karena memiliki berbagai macam bahasa, contohnya seperti: bahasa Inggris, Prancis, Jepang, Indonesia, dan sebagainya.
      2.          Bahasa sebagai sistem
Bahasa sebagai sistem berupa lambang bunyi bermakna yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Sebagai sistem lambang bunyi (ujaran) bermakna, antara bahasa yang satu dengan bahasa lainnya memiliki sistem yang berbeda, tetapi setiap bahasa sama-sama memiliki dua sistem, yakni sistem bunyi dan sistem makna.
3.        Bahasa sebagai alat
Bahasa sebagai alat, bahasa digunakan sebagai sarana komunikasi baik secara lisan maupun tulis. Bahasa lisan sangat efektif digunakan sebagai sarana komunikasi secara langsung antar sesama manusia. Secara tulis, bahasa dapat menjadi alat perekam berbagai peristiwa. Bahasa tulis juga digunakan sebagai bahasa ilmu.
Bahasa merupakan alat komunikasi yang mengandung beberapa sifat yaitu sebagai berikut:
a.           Bahasa dikatakan bersifat sistematik karena bahasa memiliki pola dan kaidah yang harus ditaati agar dapat dipahami oleh pemakainya. Bahasa diatur oleh sistem. Setiap bahasa mengandung dua sistem, yaitu sistem bunyi dan sistem makna.
b.           Bahasa disebut mana suka karena unsur-unsur bahasa dipilih secara acak tanpa dasar. Tidak ada hubungan logis antara bunyi dan makna yang disimbolkannya. Sebagai contoh mengapa manusia yang baru lahir disebut bayi bukan disebut remaja. Mengapa wanita yang masih muda disebut sebagai gadis bukan nenek atau sebaliknya. Jadi, pilihan suatu kata disebut bayi, remaja, gadis, nenek, dan lain-lainnya itu ditentukan bukan atas dasar kriteria atau standar tertentu, melainkan secara mana suka.
c.             Selanjutnya, bahasa disebut juga ujaran karena media yang terpenting adalah bunyi walaupun kemudian ditemui ada juga media tulisan.
d.           Bahasa disebut bersifat manusiawi karena bahasa menjadi berfungsi selama manusia yang memanfaatkannya, bukan makhluk lainnya.
e.             Terakhir, bahasa disebut bersifat komunikatif karena fungsi utama bahasa adalah sebagai alat berkomunikasi atau alat penghubung antar keluarga, masyarakat, dan bangsa dalam segala kegiatannya.

B. Fungsi Bahasa Indonesia
Undang- Undang Dasar RI 1945 Bab XV (Bendera, Bahasa, dan lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan) Pasal 36 menyatakan bahwa “Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia”. Maka kedudukan bahasa Indonesia sebagai  Bahasa Nasional dan Bahasa Negara.
1. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional
Dari “Hasil Perumusan Seminar Politik Bahasa Nasional” yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 25-28 Februari 1975 antara lain menegaskan bahwa dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai:
     a)      Lambang kebangsaan Nasional
Sebagai lambang kebanggaan Nasional bahasa Indonesia memancarkan nilai- nilai sosial budaya luhur bangsa Indonesia. Dengan keluhuran nilai yang dicerminkan bangsa Indonesia, kita harus bangga, menjunjung dan mempertahankannya. Sebagai realisasi kebanggaan terhadap bahasa Indonesia, harus memakainya tanpa ada rasa rendah diri, malu, dan acuh tak acuh. Kita harus bangga memakainya dengan memelihara dan mengembangkannya.
    b)       Lambang Identitas Nasional
Sebagai lambang identitas nasional, bahasa Indonesia merupakan lambang bangsa Indonesia. Berarti bahasa Indonesia akan dapat mengetahui identitas seseorang, yaitu sifat, tingkah laku, dan watak sebagai bangsaIndonesia. Kita harus menjaganya jangan sampai ciri kepribadian kita tidak tercermin di dalamnya. Jangan sampai bahasa Indonesia tidak menunjukkan gambaran bangsa Indonesia yang sebenarnya.
    c)       Alat pemersatu berbagai masyarakat yang berbeda-beda latar belakang
sosial budaya dan bahasanya
Dengan fungsi ini memungkinkan masyarakat Indonesia yang beragam latar belakang sosial budaya dan berbeda-beda bahasanya dapat menyatu dan bersatu dalam kebangsaan, cita-cita, dan rasa nasib yang sama. Dengan bahasa Indonesia, bangsa Indonesia merasa aman dan serasi hidupnya, karena mereka tidak merasa bersaing dan tidak merasa lagi ‘dijajah’ oleh masyarakat suku lain. Karena dengan adanya kenyataan bahwa dengan menggunakan bahasa Indonesia, identitas suku, dan nilai-nilai sosial budaya daerah masih tercermin dalam bahasa daerah masing-masing. Kedudukan dan fungsi bahasa daerah masih tegar dan tidak bergoyah sedikit pun. Bahkan, bahasa daerah diharapkan dapat memperkaya khazanah bahasa Indonesia.
    d)       Alat penghubung antar budaya dan antar daerah
Manfaat bahasa Indonesia dapat dirasakan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan bahasa Indonesiaseseorang dapat saling berhubungan untuk segala aspek kehidupan. Bagi pemerintah, segala kebijakan dan strategi yang berhubungan dengan ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan kemanan mudah diinformasikan kepada warga. Apabila arus informasi antarmanusia meningkat berarti akan mempercepat peningkatan pengetahuan seseorang. Apabila pengetahuan seseorang meningkat berarti tujuan pembangunan akan cepat tercapai.

2. Bahasa Indonesia sebagai bahasa negara
Dalam Hasil Perumusan Seminar Politik Bahasa Nasional yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 25-28 Februari 1975 dikemukakan bahwa di dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia befungsi sebagai :
      a.      Bahasa resmi kenegaraan
Bukti bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi kenegaraan adalah digunakannya bahasa Indonesia dalam naskah proklamasi kemerdekaan RI 1945. Mulai saat itu bahasa Indonesia digunakan dalam segala upacara, peristiwa serta kegiatan kenegaraan.
      b.      Bahasa pengantar resmi dilembaga-lembaga pendidikan
Bahasa Indonesia dipakai sebagai bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan mulai dari taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi. Untuk memperlancar kegiatan belajar mengajar, materi pelajaran ynag berbentuk media cetak hendaknya juga berbahasa Indonesia. Hal ini dapat dilakukan dengan menerjemahkan buku-buku yang berbahasa asing. Apabila hal ini dilakukan, sangat membantu peningkatan perkembangan bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan teknolologi (iptek).
     c.       Bahasa resmi di dalam perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintah
Bahasa Indonesia dipakai dalam hubungan antarbadan pemerintah dan penyebarluasan informasi kepada masyarakat. Sehubungan dengan itu hendaknya diadakan penyeragaman sistem administrasi dan mutu media komunikasi massa. Tujuan penyeragaman dan peningkatan mutu tersebut agar isi atau pesan yang disampaikan dapat dengan cepat dan tepat diterima oleh masyarakat.
    d.      Bahasa resmi di dalam pengembangan kebudayaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan serta teknologi modern
Kebudayaan nasional yang beragam yang berasal dari masyarakat Indonesia yang beragam pula. Dalam penyebarluasan ilmu dan teknologi modern agar jangkauan pemakaiannya lebih luas, penyebaran ilmu dan teknologi, baik melalui buku-buku pelajaran, buku-buku populer, majalah-majalah ilmiah maupun media cetak lain, hendaknya menggunakan bahasa Indonesia. Pelaksanaan ini mempunyai hubungan timbal-balik dengan fungsinya sebagai bahasa ilmu yang dirintis lewat lembaga-lembaga pendidikan, khususnya di perguruan tinggi. 

C. Latar Belakang Pengembangan Bahasa Indonesia
Usaha pembinaan bahasa berkenaan dengan pelaksanaan kegiatan penyebaran bahasa Indonesia ke khalayak sasaran dengan berbagai cara seperti usaha penyuluhan, penataran, dan pendemonstrasian. Jika dipandang dari segi khalayak sebagai sasaran pembinaan tersebut, khalayak tersebut dapat terdiri atas berbagai golongan, baik golongan penutur asli, maupun golongan bukan penutur asli, orang yang masih bersekolah, ataupun orang yang sudah tidak bersekolah lagi, khalayak guru pada semua jenis dan semua jenjang pendidikan, khalayak orang yang berada di komunikasi media massa, seperti majalah, surat kabar, radio, dan televisi, serta khalayak di bidang industri, perniagaan, penerbit, perpustakaan, dan pada lingkungan sastrawan.
Dengan sasaran yang ditentukan di atas, kegiatan pembinaan  itu mempunyai target tertentu. Target kegiatan pembinaan bahasa adalah sebagai berikut.
a. Penumbuhan sikap
Sikap bahasa adalah salah satu sikap dari berbagai sikap yang mungkin ada. Sikap adalah kesiapan beraksi. Sikap adalah kesiapan mental dan saraf yang terbentuk melalui pengalaman yang memberikan arah atau pengaruh yang dinamis kepada reaksi seseorang terhadap semua objek dan keadaan yang menyangkut sikap itu (Halim,1976:68). Sikap itu memiliki tiga komponen, yaitu komponen kognitif, afektif, dan perilaku. Komponen kognitif adalah pengetahuan kita tentang bahasa secara keseluruhan sampai dengan penggolongan serta hubungan-hubungan bahasa tersebut sebagai bahasa Indonesia, bahasa asing, atau bahasa daerah. Komponen afektif menyangkut perasaan atau emosi yang mewarnai atau menjiwai pengetahuan dan gagasan yang terdapat di dalam komponen kognitif. Komponen afektif menyangkut nilai rasa, baik atau tidak baik, suka atau tidak suka. Apabila seseorang memiliki nilai rasa baik atau suka terhadap sesuatu atau keadaan, orang tersebut dikatakan memiliki sikap positif. Sebaliknya, apabila orang itu memperlihatkan ketidaksukaannya, orang tersebut dikatakan memiliki sikap negatif. Target yang hendak dicapai dalam kegiatan “pembinaan” bahasa yang amat penting adalah menumbuhkan sikap yang positif terhadap bahasa Indonesia. Sikap positif tersebut tidak dapat diukur dengan angka-angka, tetapi dapat dilihat dalam komponen perilaku. Komponen perilaku berhubungan erat dengan kecenderungan berbuat atau beraksi dengan cara tertentu. Dalam hubungan ini ada nilai moral yang muncul di dalam masalah ini. Dalam mengukur keberadaan sikap positif ada beberapa pertanyaan yang dapat dipakai, yaitu seberapa jauh kita telah mencintai bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan sebagai bahasa persatuan? Seberapa jauh kita merasa memiliki bahasa kita itu sebagai kekayaan yang tiada ternilai harganya? Seberapa jauh kita merasa bertanggung jawab untuk mempertahankan keberadaan bahasa kita di di bumi Ibu Pertiwai? Jika Anda telah dapat menumbuhkan rasa cinta, rasa memiliki, rasa berkewajiban untuk mempertahankan, dan rasa bangga terhadap bahasa Indonesia, berarti Anda sudah berhasil melakukan pembinaan bahasa Indonesia terhadap khalayak yang Anda hadapi.

b. Meningkatkan kegairahan
Kegiatan pembinaan juga mempunyai target dalam meningkatkan kegairahan berbahasa Indonesia. Target ini dapat diukur dengan pertanyaan, seberapa banyak seseorang itu secara konsisten bergairah memakai bahasa Indonesia? Jika seseorang telah bergairah memakai bahasa Indonesia dalam berkomunikaasi dengan orang lain, orang itu harus meningkatkan lagi kegairahannya itu dalam mempergunakan bahasa Indonesia.
c. Meningkatkan keikutsertaan
Kegiatan pembinaan harus pula terlihat dalam kegiatan meningkatkan keikutsertaan khalayak sasaran di dalam menjaga mutu bahasa Indonesia. Apa yang disebut dengan “mutu” bahasa itu harus dihubungkan dengan bermacam-macam persoalan, seperti persoalan hubungan kata tabu, persoalan kependengaran yang tidak menyinggung perasaan, dan ketidaklaziman yang agak mencolok. Kalau Anda telah menyangsikan suatu bentuk bahasa, baik kata dan farse, maupun kalimat berarti Anda telah ikut serta menjaga mutu bahasa. Jika Anda bertanya, “Apakah bentuk frase mengejar ketinggalan sudah benar dalam bahasa Indonesia,” maka Anda sudah mebina bahasa, Anda sudah melibatkan diri dalam kegiatan pembinaan bahasa. Dengan demikian, target mudah diukur, seberapa jauh orang bertanya tentang kebenaran kata, farse, dan kalimat. Jadi, jika orang telah meragukan tentang bentuk-bentuk bahasa dan ingin tahu bentuk yang benar dari suatu untaian kata, frase, atau kalimat berarti sudah terbina  bahasanya dengan baik.
Meningkatkan mutu bahasa dalam hal ini berhubungan erat dengan menjaga mutu bahasa para pendukung bahasa. Mutu bahasa yang dimaksudkan itu berhubungan erat dengan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Persoalan baik dan benar adalah persoalan kepantasan penempatan suatu unsur bahasa dan persoalan ketepatan kaidah yang diterapkan pada kata, frase, dan kalimat.
Kegiatan yang sejajar dengan kegiatan pembinaan adalah kegiatan atau usaha pengembangan bahasa. Yang dimaksud dengan pengembangan bahasa adalah keseluruhan usaha dan kegiatan yang dengan secara sadar ditujukan kepada penyesuaian struktur dan fungsi bahasa dengan kebutuhan kemasyarakatan dan pembangunan kita, baik yang nyata maupun yang mungkin ada (potensial) dalam hubungannya dengan perkembangan keilmuan dan teknologi dunia sekarang ini serta dengan kemungkinan–kemungkina bagi masa depan. Dengan demikian, pengembangan bahasa bersifat dinamis. Uraian di atas menunjukkan bahwa usaha pengembangan bahasa diarahkan kepada usaha peningkatan kelengkapan bahasa. Jadi, sasaran yang dimaksudkan dalam usaha pengembangan bukanlah manusia pendukung bahasa, tetapi bahasa itu sendiri. Kelengkapan bahasa tersebut sangat diperlukan. Di dalam berbagai disiplin ilmu seperti politik, ekonomi, pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, dan organisasi kemasyarakatan memerlukan suatu komunikasi dengan “mengujarkan” dan “menuliskan” tentang apa saja yang mungkin dipikirkan dalam konstelasi yang baru. Dengan demikian, jelaslah bahwa kegiatan pengembangan mempunyai sasaran bahasa itu sendiri, yang target pencapaiannya adalah meningkatkan kelengkapan bahasa agar segala konsep, ide dapat dikatakan dengan bahasa Indonesia. Kata take-off, misalnya, sudah mempunyai padanan dalam bahasa Indonesia, yaitu lepas landas. Dengan usaha pengembangan bahasa itu kita akhirnya mempunyai kata-kata untuk menyatakan suatu konsep yang yang hampir semuanya dapat dikatakan dengan bahasa Indonesia.
Mengapa usaha pengembangan bahasa harus dilakukan? Hal apa yang melatarbelakangi adanya pengembangan usaha pengembangan bahasa itu?
Dalam kehidupan berbangsa, seperti bangsa Indonesia, amat diperlukan suatu alat komunikasi yang canggih untuk mempersatukan bangsa yang besar itu. Bangsa yang besar dengan daerah yang terbentang dari Sabang sampai Merauke itu adalah daerah yang multilingual yang masyarakatnya bersifat multilingualisme, yaitu mempunyai kesanggupan untuk memakai dua bahasa atau lebih.  Di daerah yang luas ini terdapat beratus-ratus bahasa sebagai bahasa daerah. Keberagaman bahasa ini, pandangan dari segi politik, merupakan suatu kendala dalam usaha mempersatukan bangsa. Di Indonesia terdapat sekitar 500 buah bahasa daerah yang dipakai dan dipelihara oleh pendukungnya dan dilindungi serta dipelihara oleh negara. Bahasa–bahasa itu pun merupakan bagian  dari kebudayaan Indonesia. 
Tidak dapat pula dimungkiri bahwa di Indonesia sekarang ini hidup pula bahasa asing sebagai bahasa ketiga. Salah satu bahasa asing itu adalah bahasa Inggris yang dipakai sebagai alat komunikasi pada tingkat internasional. Jelaslah,  bahwa kehadiran bahasa asing dan bahasa daerah, merupakan persoalan yang amat rumit untuk dipecahkan.
Dalam penggunaannya di masyarakat Indonesia, ketiga bahasa itu, yakni bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing tidak dapat melepaskan diri dari saling mempengaruhi. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan terjadinya kontak budaya dan bahasa. Kenyataan bahwa begitu kuatnya bahasa daerah sebagai bahasa ibu bagi sebagian besar rakyat Indonesia merupakan hal yang sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan berbangsa. Hal ini sangat besar pula pengaruhnya pada keberadaan bahasa Indonesia.
Uaraian yang singkat di atas sudah dapat memperlihatkan kepada kita latar belakang pengembangan bahasa Indonesia. Oleh sebab itu, masalah pengembangan bahasa Indonesia adalah masalah nasional yang jalinannya sangat kompleks yang harus ditangani sedemikan rupa, sehingga pengembangan tersebut dapat memanfaatkan kemultilingualan itu menjadi sesuatu yang menguntungkan perkembangan bahasa itu sendiri. Peningkatan pengembangan bahasa harus  dilakukan sedemikian rupa sehingga bahasa kita itu cukup memenuhi syarat sebagai bahasa kebudayaan, keilmuan, dan teknologi atas dasar standardisasi atau pembakuan bahasa. Standardisasi bahasa dilakukan dengan mempertimbangkan data kebahasaan di Indonesia melalui evaluasi dan seleksi. Hasil akhir dari kegiatan pengembangan bahasa tersebut merupakan bahasa baku. Jadi, tujuan akhir pengembangan bahasa adalah standardisasi bahasa, yaitu terciptanya suatu bahasa baku. Untuk pekerjaan pengembangan bahasa itu diperlukan suatu kebijaksanaan bahasa sebagai suatu garis haluan yang meletakkan ciri-ciri pembakuan bahasa itu. Pembakuan bahasa tersebut mencakup berbagai unsur dan aspek, seperti aspek ejaan, aspek struktur, dan aspek diksi. 


BAB IV
PENUTUP

4.1  Simpulan
Hakikat bahasa sama halnya dengan menjawab pertanyaan tentang: “Apa sebenarnya bahasa itu?” Pada dasarnya bahasa merupakan rangkaian bunyi yang melambangkan pikiran, perasaan serta sikap. Bahasa dapat dilihat dari dua aspek, yaitu hakikat dan fungsinya (Nababan, 1991:46). Pengertian bahasa jika dijawab melalui tiga sudut pandang, yakni:Bahasa sebagai istilah, bahasa sebagai system,dan bahasa sebagai alat. Fungsi bahasa Indonesia,kedudukan bahasa Indonesia sebagai  bahasa nasional dan bahasa negara. Bahasa Indonesia kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai:lambang kebangsaan nasional,lambang identitas nasional,alat pemersatu berbagai masyarakat yang berbeda-beda latar belakang sosial budaya dan bahasanya,alat penghubung antar budaya dan antar daerah. Dan kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia befungsi sebagai :bahasa resmi kenegaraan,bahasa pengantar resmi di lembaga-lembaga pendidikan,bahasa resmi di dalam perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintah,dan bahasa resmi di dalam pengembangan kebudayaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan serta teknologi modern. Usaha pembinaan bahasa berkenaan dengan pelaksanaan kegiatan penyebaran bahasa Indonesia ke khalayak sasaran dengan berbagai cara seperti usaha penyuluhan, penataran, dan pendemonstrasian. Jika dipandang dari segi khalayak sebagai sasaran pembinaan tersebut, khalayak tersebut dapat terdiri atas berbagai golongan, baik golongan penutur asli, maupun golongan bukan penutur asli, orang yang masih bersekolah, ataupun orang yang sudah tidak bersekolah lagi, khalayak guru pada semua jenis dan semua jenjang pendidikan, khalayak orang yang berada di komunikasi media massa, seperti majalah, surat kabar, radio, dan televisi, serta khalayak di bidang industri, perniagaan, penerbit, perpustakaan, dan pada lingkungan sastrawan.


4.2  Saran
Tingkatkan pengetahuan kita dalam menambah informasi tentang bahasa Indonesia,khususnya hakikat bahasa,fungsi dan pengembangan bahasa Indonesia karena hal itu wajib bagi kita ketahui sebagai warganegara Republik Indonesia terlebih lagi kita sebagai mahasiswa jurusan bahasa Indonesia.
























DAFTAR PUSTAKA

Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
        Utama
Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta

Alieva, N.F. dkk. 1991. Bahasa Indonesia: Deskripsi dan Teori. Yogyakarta:  
      Kanisius.

Akhadiah, Sabarti. Dkk. 1991. Bahasa Indonesia 1. Jakarta: Dirjen Pendidikan
     Tinggi Proyek     Pembinaan Tenaga Kependidikan.

Faisal, M. Dkk. 2009. Kajian Bahasa Indonesia SD.  Jakarta: Dirjen Pendidikan
    Tinggi  Departemen Pendidikan Nasional.

Finoza, Lamuddin. 2009. Komposisi Bahasa Indonesia untuk Mahasiswa.  Jakarta: 
           Diksi Insan Mulya.

Harjono, Nyoto, dan Philipus Pirenomulyo. 2009. Kajian Bahasa Indonesia. Salatiga: 
     Widya Sari.

Ambary, Abdullah. 1986. Intisari Tata Bahasa Indonesia. Bandung: Djatnika.

Mackey, W.F. 1986.  Analisis Bahasa. Surabaya: Usaha Nasional.

Suparni. 1994. Bahasa dan Sastra Indonesia. Bandung: Aditya.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.





Contoh Skripsi

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Di Indonessia ternak kambing sebagian besar dipelihara oleh peternak kecil di pedesaan. Pemeliharaan ternak kambing tersebut dilakukan sebagai bagian usaha tani dan dikelola secara sederhana dan tradisional. Ternak kambing merupakan ternak ruminansia kecil yang dipelihara oleh masyarakat petani peternak secara luas, karena sanggup memberikan keuntungan ekonomi yang sangat berharga. Pemeliharaan ternak kambing sangat mudah, hanya diperlukan modal yang relatif kecil dibanding dengan ternak ruminansia lainnya, seperti sapi, kerbau dan sebagainya, serta tenaga kerja yang dibutuhkan sedikit (Sumoprastowo, 1980).
Nusa Tenggara Barat merupakan salah satu provinsi sentra peroduksi ternak di Indonesia. Selain bertani dan berkebun masyarakat juga memanfaatkan lahan untuk beternak. Ternak kambing merupakan salah satu ternak yang terintegrasi dengan sistem usaha tani yang sangat mudah dan praktis untuk dikelola, terutama dikalangan petani yang memiliki lahan terbatas. Populasi ternak kambing yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Barat, pada tahun 2009 sebanyak 439.989 ekor,  tersebar di berbagai kota dan kabupaten.
Populasi ternak kambing di Nusa Tengggara Barat dari tahun 2009 s/d 2012 sangat berkembang pesat mencapai 627.283 ekor, seiring dengan adanya program pemerintah yang memberikan  bantuan kelompok, yang bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat serta meningkatkan populasi ternak kambing. Populasi ternak kambing di kabupaten Lombok Barat sebanyak 40.297 ekor.
Sumoprastowo (1980) menyatakan, bahwa kambing yang ada sekarang diperkirakan merupakan keturunan dari jenis kambing liar yang berasal dari Kasmir, Pakistan, Turki dan Balkan yang telah mengalami penyusaian bentuk luar tubuh ternak terhadap lingkungan. Saat ini dikenal  berbagai macam tipe kambing, seperti kambing pedaging dan kambing penghasil susu (perah). Kambing kacang merupakan kambing asli Indonesia, yang memiliki ciri-ciri seperti badan kecil, lincah, warna bulu tidak seragam (hitam, putih, cokelat atau kombinasi warna tersebut), kepala ringan, telinga agak pendek, tanduk agak melengkung. Jenis kambing ini sangat digemari oleh masyarakat, karena cepat berkembang biak dengan jumlah anak setiap kelahiran (Litter Size) bisa lebih dari satu ekor dan jarak kelahiran (Kiddling Interval) relatif  pendek. 
Di Kecamatan Lembar, Kabupaten Lombok Barat dengan iklim curah hujan yang bagus dan kondisi alamnya yang sangat baik untuk lokasi pemeliharaan ternak kambing. Ternak kambing yang paling digemari adalah kambing kacang. Dan akhir-akhir ini baru mulai didatangkan kambing peranakan dari luar daerah.
Dalam upaya meningkatkan jumlah populasi kambing di Lembar, ada suatu kendala yang dihadapi petani petrnak yaitu adanya ancaman penyakit parasit yang sewaktu-waktu dapat menggangu kesehatan ternak, sehingga produktifitasnya menurun. Bila hal tersebut tidak mendapat perhatian yang lebih serius, khususnya mengenai pencegahan, pengendalian dan pemberantasannya, sehingga mengurangi dan menimbulkan kerugian yang cukup besar. Salah satu penyakt Parasiter yang menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup penting adalah Haemonchiasis yang disebabkan oleh cacing Haemonchus contortus (Levine 1990). Penyakit ini sering mendatangkan kerugian yang cukup besar walaupun jarang menyebabkan kematian. Haemonchus contortus hidup didalam usus kambing, tetapi tidak jarang pula ditemukan pada domba, sapi serta golongan ruminansia lainnya. Cacing ini mudah dijumpai dalam rongga abomasum atau menempel pada dindingnya (LBN LIPI, 1983).
Kehidupan parasit di luar tubuh ternak sangat dipengaruhi oleh cuaca. Udara yang lembab dan hangat sangat cocok untuk perkembangan parasit (Kusumamihardja dan Atmowisastro, 1985). Menurut Sood (1981) kejadian Haemonchosis di lapangan cendrung dipengaruhi oleh perubahan musim, dimana   infestasi di musim gugur > musim panas > musim dingin > musim semi. Selain tiu menurut Kusumamihardja (1982) peluang infestasi oleh larva infektif banyak terjadi pada pagi hari dimana pengaruh panas matahari belum begitu berarti.  Peluang penularan ini dari pagi sampai sore akan menurun menurut urutan waktu pagi > sore > siang.
Haemochiasis memiliki ciri atau gejala  klinis seperti menurunnya berat badan, lemah dan kepucatan dari selaput lendir. Jika terdapat cukup banyak cacing didalam tubuh maka kambing yang terserang memperlihatkan gejala anemia berat, kekurusan, oedema dimana-mana dan mengalami gangguan saluran pencernaan yang dapat menyebabkan kebengkakan yang jelas dibawah rahang  yang disebut bottle-jow dan gusinya tampak pucat dan hampir tak berisi darah. Jika dilakukan tindakan bedah bangkai selaput lendir usus kelihatan membengkak dengan  perdarahan ptekia, dapat ditemukan keropeng-keropeng dangkal dan menjadi lebih rentan terhadap agen-agen infeksius yang lain (Levine, 1990).
Haemonchiasis adalah salah satu penyakit parasit yang penting pada ternak kambing di seluruh wilayah Indonesia, walaupun intensitas kejadiaanya berbeda-beda menurut daerah. Kerugian yang ditimbulkan oleh penyakit ini adalah menurunnya produktifitas hewan, berat badan menurun, diare dan dapat mengalami gangguan pencernaan umum bahkan pada kasus yang berat dapat mengakibatkan kematian, karena banyak kehilangan darah oleh infeksi parasit tersebut (Putra, 1997).
Menurut Levine (1990) tingkat kejadian penyakit akibat infeksi cacing Haemonchus sp. sangat tergantung pada banyaknya larva yang masuk ke dalam tubuh dan kondisi ternak itu sendiri. Namun yang jelas infeksi cacing Haemonchus sp. ini merupakan infeksi yang kronis (menahun) dan penderita mengalami kehilangan banyak darah (jumlah eritrosit menurun) dan gizi, pertumbuhan lambat, berat badan menurun, dan timbul peradangan pada lambung. Hasil survei di beberapa pasar hewan di Indonesia menunjukkan  bahwa 90% teernak kambing terinfeksi cacing, baik cacing lambung (Haemonchus contortus), cacing hati (Fasciola hepatica/gigantika), cacing gelang (Neoaskaris vitulorum), (Abidin, 2002)
Sisteim peternakan di Nusa Tenggara Barat, khususnya di Pulau Lombok sebagian besar dengan sistem pengembalaan. Begitu juga halnya pemeliharaan ternak kambing di kecamatan Lembar, ternak digembalakan pada siang hari dan dikandangkahn pada malam hari. Pengembalaan dilakukan ditanah lapang umum, sepanjang tepi jalan, selokan atau pematang sawah dan di bawah tanaman perkebunan atau kadang-kadang pada lahan yang sengaja ditanami rumput (Carmichael, 1993). Kambing terinfeksi oleh cacing Haemonchus sp. karena menelan larva pada saat ternak merumput pada kondisi lapangan lembab akibat embun atau hujan dan suhu pada saat itu optimum untuk penetasan telur dan pertumbuhan larva cacing (Kusumamihardja dan Lili Zalizar, 1992).
Kabupaten Lombok Barat merupakan salah satu kabupaten di Nusa Tenggara Barat yang memiliki curah hujan yang bervariasi, termasuk didalamnya adalah Kecamatan Lembar. Curah hujan sebanyak 5 cm (2 inci) atau lebih, disertai dengan suhu maksimum rata-rata bulanan diatas 18% (65F) dapat memberikan kondisi yang optimal bagi penularan Haemoncus sp. dipadang rumput. Perbedaan geografis daerah terutama curah hujan, letak geografis dan banyaknya tumbuh-tumbuhan  sangat berpengaruh terhadap perkembangan siklus hidup dan ketahanan hidup larva (Levine, 1990).
Berdasarkan uraian tersebut di atas di Kecamatan Lembar perlu mendapat perhatian yang serius. Hal ini didukung dengan adanya populasi ternak kambing yang cukup tinggi terutama ternak kambing kacang dengan kendala yang dihadapi, terutama adalah permasalahan tentang beberapa penyakit salah satunya penyakit yang disebabkan oleh parasit yaitu Haemonchiasis. Haemonchiasis    ini sangat erat hubungannya dengan menurunnya produktifitas ternak serta gejala anemia atau menurunnya sel darah merah (eritrosit) karena merupakan golongan cacing  penghisap darah.
Informasi tentang hubungan antara jumlah telur cacing Haemonchus sp. dengan sel darah putih dan PCV pada kambing Kacang, belum pernah dilaporkan, maka peneliti sangat tertarik untuk melakukan penelitian.
1.2. Rumusan Masalah  
Apakah ada hubungan antara jumlah telur cacing Haemonchus sp. Dengan jumlah sel darah putih dan PCV pada Kambing kacang, di Kecamatan Lembar, Kabupaten Lombok Barat
1.3. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui hubungan antara jumlah telur cacing Haemonchus sp. dengan sel dsarah putih dan PCV pada kambing Kacang, di Kecamatan Lembar, Kabupaten Lombok Barat.
1.4.Manfaat Penelitian
1.4.1.      Bagi Profesi
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi evaluasi dan tambahan ilmu, baik penerapan secara langsung maupun dalam pelaksanaan kesehatan hewan dan dibidang masyarakat veteriner.

1.4.2.      Bagi Peternak dan Masayarakat
Hasil penelitian ini  dijadikan sebagai rujukan dan media informasi bagi masyarakat dan petani peternak kambing, Sehingga dengan informasi tersebut dapat melakukan tindakan pencegahan dan pengobatan terhadap infeksi parasit tersebut.
1.4.3.      Bagi Peneliti Selanjutnya
Keluaran dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi atau gambaran untuk pengembangan penelitian selanjutnya.
1.4.4.      Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan masukan untuk mata kuliah Epidemiiologi, Imunologi Veteriner, Pathologi klinik, terutama mata kuliah penyakit Parasit, sebagai bahan ajar atau referensi tugas mahasiswa Kedokteran Hewan.  
1.4.5.      Manfaat Teknis
Memberikan informasi kepada para pemegang kebijakan bersama instansi terkait dan praktik lapangan tentang cara mencegah dan menanggulangi secara efektif terhadap penyakit yang disebabkan oleh Haemonchus sp.
1.5. Kerangka Berfikir
Iklim di Kecamatan Lembar sangat menunjang adanya populasi ternak kambing Kacang yang cukup tinggi. Populasi ternak Kambing di Nusa Tenggara Barat, dicatat oleh Biro Pusat Statistik sebanyak 627.283 ekor, yang tersebar di berbagai desa, tak terkecuali di Kecamatan Lembar, populasi ternak kambingnya sebanyak 7.046 ekor.
Ternak kambing Kacang perlu mendapat perhatian yang serius apalagi sebagian petani ternaknya mempunyai suatu kendala dalam pemeliharaan, salah satunya adalah penyakit yang sewaktu-waktu dapat menggangu kesehatan ternak dan kerugian ekonomi bagi petani peternak itu sendiri, kendala atau masalah yang sering dialami adalah masalah penyakit parasiter yaitu Haemonchiasis yang disebabkan oleh Haemonchus contortus. Merupakan parasit nematoda yang terpenting pada kambing di Indonesia (Berajaya, 1986). Menurut Wargadipura dan Rumawas (1976)  haemonchosis merupakan penyakit yang bersifat endemis yang mengakibatkan kerugian yang cukup besar, sedangkan menurut Angus (1978) infeksi yang disebabkan Haemonchus contortus bersifat sporadik.
Tingkat prevalensi Haemonchus contortus cukup tinggi, yaitu dapat mencapai rata-rata 80% (Puslitbangnak, 1980). Selanjutnya Chotiah  (1983) melaporkan bahwa prevalensi infestasi Haemonchus contortus pada kambing di Lampung tengah dan Lampung selatan sebesar 86%, yang mengakibatkan 58% kambing mengalami kematian, sedangkan kambing yang masih hidup mengalami kekurusan. Berdasarkan perhitungan Direktorat Jendral Peternakan (1974), 67% dari populasi kambing  Gejala klinis yang ditimbulkannya adalah produktifitas ternak menurun, kehilangan bannyak darah, diare, kurus, adanya oedema dibawah rahang.
Haemoncus sp. merupakan parasit cacing penghisap darah yang tinggal di dalam abomasum kambing, dimana larvanya mampu menginfeksi melalui rumput yang dibasahi oleh embun yang suhunya masih lembab. Karena kebiasaan masyarakat mencari pakan pada pagi hari disaat rumput atau pakan belum kering larva kemudian ikut tertelan bersama pakan ketika ternak merumput atau pada saat peternak memberikan pakan ternaknya, sehinggga larva cacing tersebut ikut tertelan bersama pakan dan akan berkembang menjadi cacing dewasa. Cacing akan merusak selaput lendir lambung, yang bisa menyebabkan terjadinya defisiensi zat besi dan anemia dengan ditandai menurunnya sel darah merah pada hari ke 19 pasca infeksi (Putra, 1997).
Berdasarkan uraian yang diatas, penyebaran Haemonchus sp. dipengaruhi oleh keadaan lingkungan terutama suhu dan curah hujan, sehingga pendekatan penangulangan penyakit ini dari landasan epidemiologi penyakit.
1.6.  Hipotesis
Jumlah telur cacing  Haemonchus sp. Berkolerasi terhadap Jumlah Sel Darah Putih dan PCV pada Kambing Kacang di Kecamatan Lembar.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kambing Kacang
Kambing Kacang merupakan kambing asli Indonesia yang banyak dipelihara oleh masyarakat khususnya di Nusa Tenggara Barat. Kambing Kacang adalah jenis kambing yang berbadan kecil dengan berat badan pada yang jantan sekitar 30 Kg, sedangkan pada yang betina 20 - 2 5 Kg. Baik yang jantan maupun yang betina mempunyai tanduk, tetapi relatif  pendek, melengkung kebelakang dengan ujungnya membengkok keluar. Bentuk hidungnya lurus, leher pendek dan pada jantan berjenggot. Warna bermacam-macam, ada yang cokelat, hitam atau putih. Daun telinga pendek berdiri tegak menggarah kedepan dan kesamping dan ada kalanya ujungnya terkulai sedikit (Sumoprastowo, 1980).
Menurut Smith (1998), menyatakan bahwa kambing telah dijinakkan sejak ribuan tahun yang lalu dan tulang-tulang hewan ini telah ditemukan di dekat tempat tingal manusia zaman dahulu. Kambing adalah hewan memamah biak penting di Indonesia dan dikenal ada empat bangsa kambing yaitu: Kambing Marica, kambing Etawa, kambing Bali (kambing Gembrong), dan Kambing Kacang. Kambing Kacang kacang merupakan jenis kambing yang tahan terhadap keadaan lingkungan yang buruk dan sangat fertil, cepat dewasa. Mencapai dewasa pada umur 6 bulan dan dapat beranak pertama kali pada umur kurang lebih 12 bulan.
2.1.1.    Pakan
Pakan yang diberikan dapat terdiri dari konsentrat dan dedak dengan perbandingan 1: 3 (Anonim 2013d). Pakan dasar kambing dedaunan dan rerumputan serta akan tambahan berupa konsentrat (Gall 1981). Pakan tambahan dapat disusun dari bungkil kelapa, bungkil kedelai, dedak, tepung ikan yang ditambah dengan vitamin dan mineral. Untuk pakan dasar umumnya adalah daun kayangan, daun lamtoro, daun gamal, daun turi, daun nangka dan lainnya. Pemberian hijauan sekitar 3% dari bobot tubuh (dasar bahan kering) atau 10 – 15%  bobot badan (dasar bahan segar) (Dunn 1994)  
2.1.2.   Perilaku
Didalam aslinya, kambing hidup berkelompok 5 sampai 20 ekor. Dalam pengembaraannya mencari makanan, kelompok kambing dipimpin oleh kambing betina yang paling tua sedangkan kambing jantan berperan sebagai penjaga keamanan rombongan. Waktu aktif mencari makan dilakukan pada siang maupun malam hari (Anonim 2013).
2.2. Cacing Haemonchus sp. Pada kambing
2.2.1. Etiologi
Soulsby (1982) menyatakan bahwa haemonchiasis pada kambing disebabkan oleh Haemonchus contortus (Rudolphi, 1803). Haemonchus contortus termasuk super famili Trichostrongyloidea (Cram, 1927). Famili Trichosstrongylidae (Leiper. 1912).
Haemonchus contortus merupakan cacing kawat yang tinggal di dalam abomasum Kambing, domba, sapi serta golongan ruminansia lainnya. Nama lain cacing ini juga disebut “cacing lambung”, “cacing kawat”  dan “cacing halus”.
Meskipun Trichostrongylidae mempunyai bentuk dan ukuran kecil, namun demikian cukup berbahaya karena termasuk cacing penghisap darah, sehingga ususnya berwarna merah yang dililiti oleh ovarium dan uterus berwarna putih, ukurannya kecil dan halus seperti benang (Tricho=benang) dengan panjang kira-kira 3 cm. Cacing betina ukurannya lebih besar dan panjang dari yang jantan, kira-kira 1,5 kali ukuran cacing jantan (LBN LIPI. 1983). Panjang cacing jantan
10 – 20 mm (Lapage. 1956: Levine, 1978) sedangkan betina 18 – 30 mm (Lapage. 1956: Levine, 1978) tetapi menurut Marsh (1958) panjang cacing betina 20 – 30 mm.
Cacing ini mempunyai lanset pada bagian dorsal dari rongga mulut dan papila cervical berbentuk duri kira – kira 300 µ dari ujung anterior. Cacing jantan mempunyai bursa yang berbntuk seperti huruf  Y dan spikula. Cacing betina mempunyai ovarium dan uterus berwarna putih yang meliliti saluran pencernaan berwarna merah, berekor kecil dan berujung runcing. Vulva ditutupi oleh penutup anterior (Valvular flap) yang sering melebar dan terbuka
Levine (1990) bahwa Haemonchus sp. merupakan cacing lambung yang besar disebut barbelpole. Cacing ini menyerang berbagai umur, bentuknya seperti pilitan benang merah dan putih karena berasal dari adanya ovarium yang berwarna putih dililiit oleh usus yang berwarna merah sehingga dikenal dengan cacing merah. Cacing jantan mempunyai panjang 10 – 20 mm dan berdiameter 400 mikron. Betinanya mempunyai panjang 18 – 30 mm dan berdiameter 500 mikron. Dengan telur berukuran 62-90 X 39 – 50 mikron. Haemonchus sp. adalah cacing penghisap darah, setiap cacing dewasa menghisap 0,049 ml darah/hari. Clark (Kusumamihardja & Lili Zalizar, 1992).
Pada infeksi berat oleh Haemoonchus sp. isi abdomen terlihat sebagai masa cacing yang berjubel.Pada kambing yang dewasa, perhitungan telur dalam tinja sejumlah 300 butir telur Haemchus contortus setiap gram tinja (e.p.g) diduga terjadi infeksi ringan, sedangkan lebih 30.000 butir telur pergram tinja menunjukkan terjadi infeksi berat (Levine, 1990). Jumlah telur  yang dihasilkan oleh setiap cacing betina tergantung dari beberapa faktor sebagai berikut: umur cacing, jumlah cacing yang ada, ransum induk semang dan status kekebalan. Cacing Haemoncchus sp. dewasa betina mempunyai kemampuan bertelur kira-kira 5.000 – 10.000 butir/hari
Haemonchus sppertama kali dilaporkan oleh Whitlock pada tahun 1958. Haemonchus sp. merupakan parasit patogenik yang penting pada kambing, domba, sapi dan ruminansia lainnya. Pernah dilaporkan pada manusia di Brazilia dan Australia sebagai parasit incidental, telurnya berbentuk bujur menyerupai telur cacing Tricostrongylus dan  hanya dapat dibedakan dengan pembiakan larvanya (Brown, 1990).



Gambar 1.  Cacing dan Telur Cacing Haemoncus sp.
1.      Cacing Haemonchus sp
Gambar 1. Organ reproduksi cacing dewasa H. contortus. jantan (A) dan betina (B). (V) vulva flap, (BK) Bursa Kopulatriks, (G) Gubernakulum (S) Spikulum. Pewarnaan minya cengkeh. Pembesaran 10x10

2.     
Telur Cacing Haemonchus sp. 




2.2.1.      Sistematika/ Toksonomi
Cacing Haemonchus sp. dapat menyebabkan penyakit yang disebut Haemonchiasis yaitu penyakit parasit cacing gastrointestinal pada kambing, domba, sapi dan ternak ruminansia lainnya. Secara toksonomi cacing Haemonchus sp. digolongkan kedalam class Nematoda (Soulsby, 1968).. Haemonchus sp. kepalanya berdiameter kurang dari 50 mikron, dengan kapsula bukal yang kecil beisi gigi yang ramping atau lanset di dasarnya, dan mempunyai tiga mulut yang tidak menarik perhatian. Terdapat papilla servikal yang jelas menyerupai bentuk duri. Spikuu relatif  pendek dan terdapat sebuah gubernakulum.n Vulva terdapat dibagian posterior tubuh dan sering ditutupi oleh cuping (Levine, 1990). Secara lengkap sistemika penggolongan cacing Haemonchus sp. adalah sebagai berikut: 
Phylum     : Nemathelminthes
Class         : Nematoda
Family       : Haemonchus
Spesies      :  Haemonchus contortus
2.2.2.      Epidemiologi
Kejadian penyakit ini selalu dihubungkan dengan sumber penyakit, lingkungan dan induk semang. Haemonchosis muncul jika ke tiga faktor di atas tidak seimbang, dan kambing terinfestasi larva infektif (Larva stadium ke tiga) Haemonchus contortus ketika di gembalakan di padang rumput. Menurut Bank (1958) infestasi parasit berlangsung di lapangan pada saat anak kambing  mulai belajar merumput, mencapai puncak pada umur 5 – 6 bulan, kemudian menurun karena meningkatnya kekebalan.
 Infestasi parasit cacing sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh induk semang. Sedangkan daya tahan tubuh induk semang dipengaruhi oleh kondisi tubuh, makanan dan factor umur (Lapage. 1956). Menurut Moley dan Donald (1977: dealam Kusumamihardja, 1982). Factor – factor yang mempengaruhi derajat infestasi nematode pada Kambing adalah; 1. Kepadatan ternak, 2. Waktu refroduksi, terutama beranak dan menyapih, 3. Lamanya merumput di satu lapangan termasuk penggiliran, 4. Penggantian jenis ternak yang merumput atau dengan jenis yang sama tetapi kebal, 5. Penggunaan rumput kering sebagai makanan tambahan, 6. Beberapa jenis ternak merumput bersama, 7. Perbandingan antara jumlah ternak muda dan ternak tua, dan 8. Jenis rumputan pokok di lapangan pengembalaan. Jika factor – factor tersebut tidak baik, maka keseimbangan antara parasit dan induk semang akan terganggu sehingga hewan menjadi sakit bahkan dapat mengakibatkan kematian.
 Kehidupan parasit di luar tubuh ternak sangat dipengaruhi oleh cuaca. Udara yang lembab dan hangat sangat cocok untuk perkembangan parasit. Di pagi hari larva nematoda yang ada di pepucukan rumput lebih banyak dari pada di siang hari dan sore hari jumlah ini naik lagi tetapi tidak mencapai seperti jumlah pada pagi hari. Maka Kambing yang digembalakan pada pagi hari akan menderita infeksi oleh Haemonchus contortus  lebih berat dari pada yang digembalakan pada siang maupun pada sore hari. Pada musim hujan udara lembab dan mendung lebih lama dari pada musim kemarau, maka adanya  larva nematode di pepucukan rerumputan akan lebih lama di musim hujan dari pada di musim kemarau (Kusumamihardja dan Atmowisastro. 1985).
Blood dan Hendersoon (1979) menyatakan bahwa Haemonchosis merupakan penyakit yang menyebabkan kerugian di Negara – negara tropis, terutama pada musim hujan dimana suhu rata – rata diatas di atas 18 c dengan curah hujan lebih dari 52,2  mm setiap bulan. Indonesia sebagai salah satu Negara tropis, di mana drajat kelembaban yang tinggi dan suhu udara yang umumnya di atas 20 c  sepanjang tahun (Kusumamihardja. 1982) member suasana yang cocok untuk perkembangan optimum dari Haemoncus contortus pada fase bebasnya. Beriajaya (1986) dan Kusumamihardja (1982) berpendapat bahwa infestasi di musim hujan lebih tinggi dari pada di musim kemarau. Sedangkan di daerah yang mempunyai 4 musim menurut  Sood (1981) Infestasi di musim gugur > musim panas > dingin > musim semi.
Haemonchiasis merupakan penyakit yang disebabkan oleh Nematoda Haemonchus sp. yang hidup didalam abomasum dan saluran pencernaan. Penyakitini umumnya menyerang ternak ruminansia terutama kambing, domba dan sapi. Haemonchiasis pada kambing pada kambing dan domba terutama disebabkan oleh Haemonchus contortus. Di daerah beriklim panas, lembab, infeksi Haemonchus Contortus merupakan hal yang sangat penting bagi perkembangan stadiumpreparasitik dan perjalanan larva ke rerumputan. Pada daerah curah hujan yang berlebihan secara fisik akan membersihkan larva dari padang pengembalaan, sehingga jumlah larva bagi ternak berkurang, karena ternak kambing terinfeksi oleh cacing ini pada saat merumput (Carmicael, 1993).
Timbulnya suatu penyakit dipengaruhi oleh banyak faktor dan ini merupakan  masalah yang sangat kompleks. Dari sekitar faktor tersebut, secara umum paling tidak ada 3 faktor  yang saling terkait untuk terjadinya suatu penyakit yaitu: faktor agen penyakit, faktor hospes, dan faktor lingkungan  (Dharma, 1997). Menurut Williamson dan Payne (1968) menyatakan,  bahwa iklim mempengaruhi penyakit yang  menyerang ternak baik secara langsung maupun tidak langsung. Lebih lanjut diterangkan pula, bahwa setiap daerah mempunyai iklim yang berbeda, masing-masing dipengaruhi oleh faktor yang bersifat tetap  yaitu: luas daerah,tinggi tempat, distribusi lahan dan air,  tanah dan topografi; sedangkan faktor  yang tidak  tetap yaitu: aliran angin dan curah hujan. Dikatakan bahwa iklim tersebutterdiri atas komponen suhu udara, kelembapan, awan, penyinaran, angin dan tekanan udara.
Levine (1990), menyatakan bahwa factor lingkungan seperti suhu, curah hujan, tanah yang lembab, tumbuh-tumbuhan dan factor yang serupa sangat mempengaruhi perkembangan dari pada stadium larva cacing Haemonchus sp. terhadap siklus eksternalnya. Suhu perkembangan larva sampai stadium infektif  pada suhu relatif rendah, ternyata mengalami perhentian perkembanggan setelah larva menginfeksi induk semang. Larva tidak berkembang menjadi dewasa selama beberapa bulan. Larva yang berkembbang pada suhu yan relatif tinggi atau terjadi pada musim panas cepat menjadi dewasa waktu kira-kira 3 minggu setelah larva menginfeksi kambing. Cacing dewasa ini menyebabkan timbulnya gejala sakit pada akhir musim panas dan pada musim gugur. Larva menginfeksi kambing pada akhir musim gugur, tetap berada dalam stadium larva selama musim dingin dan tidak menjadi dewasa sampai musimm semi. Suhu optimum untuk penetasan telur cacing Haemonchus sp. dan pertumbuhan larva pada suhu 20 - 27C (Crofton, 1954).
2.3.      Perubahan Patofisiologis Pada kambing Akibat Infestasi Haemonchus Contortus
2.3.1.      Gambaran darah
Darah merupakan salah satu komponen tubuh yang berfungsi sebagai medium transport untuk metabolism tubuh, mempertahankan keseimbangan asam basa normal dalam tubuh, mengatur keseimbangan air, mengatur suhu tubuh dan pertahanan terhadap infeksi (Harper et al, 1979).
Menurut Downey (dikutip dari Phillis, 1979) umumnnya jumlah volume darah 6 - 8 %  dari berat badan. Pada Kambing volume darah normal 56 – 60 ml setiap kilogram berat badan.
Gambaran darah merupakan salah satu cara untuk mendiagnosa penyakit. Penyakit cacing, terutama pada ruminansia kecil merupakan penyebab utama perubahan gambaran darah hewan (Schalm, 1965).
Bentuk gangguan akibat infestasi Haemonchus contortus adalah anemia, dengan ditandai kadar haemoglobin menurun, nilai hematokrit di bawah normal dan jumlah eritrosit berkurang, sedangkan jumlah leukositnya bertambah (Chotiah, 1982).
Hasil penelitian Arifin (1982) pada Kambing kelompok A masing-masing diinokulasi dengan 2.000 ekor, sedangkan kelompok B dengan 5.00 ekor larva infektif dan kelompok C tidak diinokulasi, mendapatkan peningkatan peresentasi nilai hematokrit dan kadar hemoglobin terjadi empat hari setelah inokulasi, kemudian diikuti penurunan sampai dengan hari ke 18 setelah itu terjadi peninggkatan lagi
Lampiran..5 dan 6
Pola gambaran grafik hematokrit dan hemoglobin mengikuti perubahan banyaknya eritrosit. Dari hasil bila dibandingkan dengan data yang disajikan Greenwood (1977) seperti terlihat pada table 1 di bawah, diketahui bahwa penurunan banyaknya eritrosit, nilai hematokrit dan kadar hemoglobin masih dalam batas normal. Demikian pula peningkattan jumlah leukosit dan persentase neutrofil. Persentase eosinofil dan monosit meningkat, sedangkan persentase limfosit menurun di bawah batas normal.
Peningkatan jumlah eritrosit, nilai haematokrit dan kadar hemoglobin pada hari keempat setelah inokulasi Kambing dengan larva infektif. Hal ini disebabkan karena meningkatnya aktifitas jaringan eritropoetik sebagi respon perdarahan yang ditimbulkan parasit.
Penurunan jumlah eritrosit terjadi pada saat cacing memulai produksi telur yaitu 18 hari setelah infeksi dan ketika produksi  telur memuncak yaitu 32 hari setelah infeksi (Albers dan Le Jambre, 1983). Sedangkan menurut Arifin (1982) penurunan banyaknya eritrosit terjadi setelah hari keempat  dan mencapai puncak pada hari ke 18 setelah infeksi. Penurunan jumlah eritrosit, nilai hematokrit dan kadar hemoglobin pada Haemonchosis disebabkan karena larva membutuhkan lebih banyak darah dalam pendewasaannya, sedangkan jaringan eritropoetik tidak dapat mengimbangi.
Tabel 1. Perbandingan antara nilai gambaran darah kambing dengan Hasil penelitian (Arifin, 1982)

Komponen Darah
Rata-rataa
Kisaran a
Kelompok Cb
Kelompok Ab
Kelompok Bb
Eritrosit (juta/mm3)
12
9 – 15
10.55
9.56
9.63
Hematokrit (%)
33
26  42
28.92
27.49
27.38
Hemoglobin (g/100ml)
12
8 – 16
10.26
9.14
9.31
Leukosit (ribu/mm3)
8
4 – 12
7.66
9.97
9.40
Netrofil (%)
30
10 – 50
43.83
42.53
40.4
Limponit (%)
63
50 - 75
48.63
30.43
31.37
Eosinofil (%)
4
2 – 12
4.77
14.2
14.5
Monosit (%)
3
2 - 8
2.77
13.03
13.73

aNilai gambaran darah normal menurut Greenwood (1997)
bKelompok C sebagai kontrol tidak diinokulasi
Kelompok A yang diinkolukasi dengan 2.000 larva infektif
Kelompok B yang diinkulasi dengan 5.00 larva unfetif

Menurut Sood (1981) larva stadium keempat dan cacing yang mulai dewasa merupakan penghisap darah yang rakus. Hal ini didukung oleh Soulsby (1965) yang menyatakan bahwa larva stadium keempat dan cacing dewasa menghisap darah dengan cara melekatkan diri pada mukosa abomasum dan menghisap darah selama lebih 12 menit, lalu melepaskan diri, tetapi luka yang ditimbulkannya masih tetap mengeluarkan darah kurang lebih tujuh menit. Sedangkan menurut Dargie dan Allonby (1975) larva stadium kelima dan cacing mulai dewasa merupakan penghisap darah yang sangat banyak.
Leukosit merupakan unit mobil dari sistem pertahanan tubuh yang dibentuk di dalam sum-sum tulang (Ganong, 1983). Menurut arifin (1982) jumlah leukosit meningkat sampai dengan hari ke 18 setelah inokulasi. Peningkatan ini disebabkan karena penyerangan larva dan cacing dewasa sehingga menyebabkan peradangan pada mukosa abomasum. Mulai hari ke 18 setelah infeksi terdapat penurunan jumlah leukosit, disebabkan Kambing mengalami masa penyembuhan akibatnya terbentuknya kekebalan. Pada difrensiasi leukosit didapatkan peningkatan persentase neutrofil, eusinofil, monosit, sedangkan limfosit menurun.
Eosinofil merupakan tanda khas atau patognomonis dari infeksi cacing (Soulsby, 1979). Faust dan Russell (1957) melaporkan bahwa adanya kenaikan eosinofil 10% pada penderita cacingan. Hunter dan Mackenzie (1982) dan Arifin (1982) berpendapat peningkatan eosinofil dimulai pada sejak saat perkembangan larva ketiga menjadi larva keempat dan mencapai maksimal pada saat larva mengadakan ekdisis menjadi larva kelima yang terjadi pada hari ke 7 setelah inokulasi (Lampiran 7).
Seddon (1967) menyatakan bahwa pada infestasi Haemonchus contortus yang berat induk semang kehilangan darah minimum 60 ml setiap harinya. Sedangkan menurut Clarck (1977) setiap cacing Haemonchus contortus dewasa menghisap darah 0,049 cc setiap harinya. Fouri (1931: dalam Arifin, 1982) menyatakan cacing ini menghisap darah dan sebabgai akibat kerja antikoagulan dari kelenjar yang terdapat di bagian kranialnya, menyebabkan perdarahan selama beberapa saat setelah cacing melepaskan diri dari mukosa abomasum.
Kehilangan darah berhubungan langsung dengan prooduksi telur cacing. Ini menunjukkan ada faktor darah yang merupakan faktor penting bagi biosintesis telur Haemonchus contortus, faktor  tersebut adalah oksigen, tetapi menuurut Whictlock oksigen mungkin bukan satu-satunya komponen darah yang diambil oleh cacing (Clark, 1977).
Menurut Dargie dan Allonby (1975) anemia pada Kambing yang menderita Haemonchosis  berlangsung dalam tiga tahap. Tahap pertama dikenal sebagai haemonchosis akut yang berlangsung sampai tiga minggu sesudah infestasi. Pada tahap ini Kambing kehilangan darah dalam jumlah besar sebelum sistem eritropoetiknya mampu menghasilkan darah pengganti. Pada tahap yang kedua, yang berlangsung antara minggu ketiga dan kedelapan, kehilangn eritrosit termasuk zat besi berlangsung terus,tetapi diimbangi oleh kegiatan system eritropoetik. Pada tahap ketiga terjadilah kelalahan sistem eritropoetik yang disebabkan oleh ekurangan besi dan mungkin juga asam amino.
2.3.2.      Saluran Pencernaan dan Gangguan Metabolisme
Fungsi utama alat pencernaan adalah mempersiapkan makanan supaya dapat diserap ke dalam darah. Beberapa  bagian alat pencernaan mempunyai fungsi tertentu, seperti lambung sebagai alat penampung utama makanan, usus kecil sebagai  tempat absorbs makanan, sedangkan usus besar menyerap kembali cairan-cairan dan mengeluarkan sisa metabolism.
Cacing Haemonchus contortus tinggal di dalam abomasum, tidak adaaitannya dengan penyerapan yang dilakukan oleh usus halus. Akan tetapi kehadiran Haemonchus contortus dalam abomasum menyebabkan suasana asam sehingga makanan cepat digiring ke usus halus, caecum, kolon dan seterusnya. Cepatnya aliran makanan menyebabkan penyerapan dalam usus halus kurang intensif sekalipun oleh usus yang baik   (Dargie, 1973). Hal ini didukung oleh Hunt dan Knox (1968: dalam Buernoet et al, 1982) yang menyatakan bahwa pada ruminansia pengosongan lambung dipengaruhi asam lambung. Peningkatan pH dapat menyebabkan dipercepatnya pengosongan lambung dan peningkatan aliran duodenum. Menurut Buerno et al  (1982) peningkatan aliran pencernaan pada hewan yang terinfestasi parasit sebagai akibat pengeluaran sekretin dan chelocystokinin.
Menurut Buerno et al (1982) cacing yang belum dewasa ebih aktiv dari pada cacing yang telah dewasa, hal ini menyebabkan kerusakan mukosa abomasum yang luas sehingga terjadi gangguan gastro intestinal yang hebat. Sood (1981) menyatakan bahwa kehadiran cacing Haemonchus contortus  di dalam abomasum akan mengganggu pencernaan dan absorbs protein, kalsium dan fosfor, meningkatkan keasaman lambung dan plasa pepsinogen. Keadaan ini menyebabkan kambing menderita hipoproteinemia dan kataboloisme protein yang cepat.
2.3.3.      Produktifitas dan Pertumbuhan Badan
Anoreksia merupakan salah satu gejala helminthiasis, yang dapat mentyebabkan lambatnya pertumbuhan badan. Penurunan nafsu makan terjadi pada hari ke 10 sesudah infeksi (Laurence et al, 1951: dalam Gibson, 1963).
Laurence et al (1951) mengemukakan bahwa peningkatan makanan (gandum) 300 gram setiap hari pada Kambing yang terinfeksi Haemonchus contotrtus dapat menambah berat badan dan hemoglobin. Tetapi White dan Cushnie (1952) tidak menemukan perbedaan antara dua grup Kambing, dimana salah satu kelompok mendapatkan makanan yang berlebih. Dia mendapatkan jumlah telur tiap gram tinja lebih rendah pada Kambing yang mendapatkan makanan yang berlebih dari pada yang tidak mendapatkannya (Gibson, 1963).
           
2.3.4.      Siklus Hidup
Siklus  hidup  Haemonchus contortus  adalah langsung tidak memerlukan induk semang antara. Cacing dewasa hidup di dalam abomasums hewan ruminansia. Cacing betina dewasa dapat bertelur anatara 5.000 – 10.000 butir setiap hari. Cacing dewasa betina mengeluarkan telur (oviparous) dan meletakkan telurnya pada stadium morula di dalam lemen abomasum, kemudian di keluarkan  melalui feses. Telur mempunyai panjang 70 - 85µ. Dengan diameter 41 – 48 µ. Pada waktu dikeluarkan bersama tinja, telur telah berisi embrio yang terdiri dari16 – 32 sel (Soulsby. 1968). Setelah 14 – 19 jam berada di luar telur akan menatas bila suhu cukup baik (Marsh, 1958). Telur berembrio akan menetas menjadi larva stadium pertama (L) yang memakan mikroorganisme dari tinja induk semang. Selanjutnya larva stadium pertama (L) mengadakan ekdisis menjadi larva stadium kedua (L) yang lebih aktif dari pada  larva stadium pertama (L) dan berenang dengan cepat di dalam air. Larva stadium kedua (L) kemudian mengadakan ekdisis lagi membentuk  larva stadium  ketiga (L) atau larva infektif, akan tetapi selubung larva kedua tidak dilepaskan sehingga larva ketiga mempunyai dua selubung. Karena itu larva infektif lebih tahan terhadap kekeringan dan udara dingin dari pada larva stadium pertama dan kedua. Pada tahap ini larva aktif meskipun tidak makan, twetapi dapat hidup dari persediaan makanan yang disimpan dari sel – sel ususnya. Clark (1977) menyatakan bahwa larva dapat hidup selama 6 bulan. Sedangkan menurut Marsh (1958). Lara infektif pada keadaan panas, kering dan beku dapat hidup tidak lebih dari 3 bulan. Larva tersebut aktif memanjat,, menaiki rerumputan pada pagi dan malam hari. Dalam lingkungan yang optimum, Stadium larva ketiga (L3) ini dapat dicapai kira – kira dalam 4 hari.
Sood (1981) menyatakan bahwa kondisi optimum untuk perkembangan telur Haemonchus contortus sampai menjadi larva infektif adalah pada suhu 10 – 37 c, sedangkan pada suhu 40 c akan mati dalam jangka waktu 20 jam. Menurut Misrah dan Ruprah (1978b: dalam Sood, 1981) telur Haemonchus contortus menetas pada suhu 25 – 30  c, dengan kelembaban 70 – 85 %. Chotiah (1982) menyatakan bahwa telur cacing yang terdapat di dalam tinja akan menetas setelah 24 jam pada suhu 60 – 100 f dan berkembang menjadi larva infektif pada suhu yang sama. Sedangkan menurut Jehan dan Gupta (1974: dalam Sood, 1981) Telur menetas menjadi larva infektif pada suhu optimum 30 c.
Infestasi pada kambing terjadi apabila larva stadium tiga (L) termakan oleh kambing, yang biasanya berlangsung di lapangan pada saat Kambing merumput. Kemudian bergerak dari rutikulorumen ke abomasums. Di dalam retikulorumen larva infektif akan segera melepaskan kulit yang membungkusnya, hal ini terjadi satu  jam setelah Kambing terinfeksi (Dakkak et al, 1981). Kemudian larva ketiga melakukan ekdisis dalam waktu 48 jam setelah di dalam abomasum, membentuk larva stadium keempat (L). Menurut Wictlock (Dakkak et al, 1981) hanya larva tidak berselubung yang dapat berkembang di dalam abomasums. Larva keempat dilengkapi dengan “bucal capsul” sementara. Larva menyusup kedalam mukosa dan mengisap darah. Tetesan darah pada luka kemudian membeku mengelilingi larva tersebut. Setelah tiga hari, larva membebaskan diri dari bekuan dan mengadakan ekdisis terakhir, membentuk larva stadium kelima (L).Larva kemudian membenamkan diri ke dalam mukosa dan berkembang menjadi dewasa.
Hunter dan Mackenzie (1982) menyatakan bahwa larva stadium keempat terbentuk dalam empat hari setelah infestasi, sedangkan larva stadium kelima terbentuk pada hari ketujuh setelah infestasi. Cacing menjadi dewasa di dalam abomasum 18 hari setelah infesrasi dan telur pertama dikeluarkan bersama tinja induk semang 18 – 21 hari setelah infestasi. Sedangkan menurut Marsh (1958) cacing dewasa terbentuk pada hari kesepuluh setelah infestasi dan telur pertama dikeluarkan 15 hari setelah infestasi. Menurut Sood (1981) masa prepaten Haemonchus contortus pada kambing selama 21 hari.
Selain oviparous, siklus huidup Haemonchus contortus dapat secara viviparous. Sebagai hasil penelitian Ayalew dan Murphy (1986) secara in vitro dilaporkan bahwa telur Haemonchus contortus dapat menetas di dalam uterus pada suhu 39 – 40 c dan berkembang menjadi larva stadium ketiga (L) 2 hari setelah inkubasi. Kemudian larva stadium ketiga akan menjadi larva stadium keempat yang dapat menimbulkan autoinfeksi.

 Gambar 2.

Siklus hidup cacing Haemonchus sp. (Carmichael, 1993).

 
   
Telur cacing terdapat pada tinja dan  biasanya menetas dalam tanah. Larva stadium pertama (L) hidup dari mikrooranisme dari tinja, menyilih menjadi larva stadium yang hidup dari mikroorganisme, dan kemudian menjadi larva stadium dua (L) yang juga hidup dari mikroorganisme, dan kemudian menjadi larva stadium tiga (L) yang terselubung di dalam kulit larva stadium ke dua (L) dan tidak makan.Larva stadium tiga (L) berpindah lmenuju tumbuhan dan larva dapat tertelan oleh induk semang definitive. Di dalam gastrointestinal larva melepaskan selubungnya dan menyilih menjadi larva stadium empat (L4), kemudian menjadi cacing dewasa menghisap darah darah hospes dan menyebabkan gastritis kataral ringan (Levine, 190).

2.3.5.      Kerugian ekonomi akibat Haemoncus contortus
Penyakit yang sering mendatangkan kerugian yang cukup besar walaupun jarang menyebabkan kematian adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing. Maninfestasi penyakit parasit cacing berbeda dengan penyakit yang disebabakan oleh virus atau bakteri. Pada penyakit virus atau bakteri umumnya kerugian ekonomi dapat dengan mudah diketahui, yaitu dengan adanya kematian. Sedangkan pada penyakit cacingan kerugian utama umunya bukan kematian, tetapi karena kekurusan, pertumbuhan terhambat, turunnya produksitifitas, turunnya daya tahan tubuh, turunnya daya kerja dan lain – lain.
Berbagai parasit cacing yang sering merugikan peternakan Kambing antara lain jenis Haemonchus contortus, Oesophagustomum columbianum, Trichostrongylus colubriformis, Fasciala sp. serta Paramphistomum sp.  (Soulsby. 1965). Meskipun cacing utama penyebab kerugian paling besar itu tidak diketahui, tetapi karena Haemonchus contortus merupakan cacing yang dominan dan bersifat penghisap darah yang jahat (Allonby dan Uruqahart, 1973: dalam Soetejo et al. 1980) maka diduga Haemonchus contortus lah yang menyebabkan kerugian yang paling besar. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Wargadipura dan Rumawas (1976) yang mengatakan bahwa Haemonchus contortus lah yang menimbulkan kerugian ekonomi paling besar, baik kepada pribadi pemilik maupun kepada Negara.
Kerugian yang ditimbulkan akibat infestasi cacing pada domba di Amerika serikat tahun 1976 diperkirakan sebesar US $ 98.000.000,00, hal ini dilaporkan oleh persatuan ahli Parasitologi Amerika Serikat (1983). Menurut laporan Allonby dan Urquhart (1973: dalam Soetedjo et al. 1980) kerugian yang tinggi disebabkan oleh Haemonchus contortus di Negara Australia, Afrika Timur dan Amerika Latin.
Di Indonesia, ternak Kambing merupakan salah satu komoditi ternak yang cukup potensial untuk memenuhi kebutuhan protein hewani. Populasi ternak di Indonesia sekitar 4,3 juta ekor. Kurang lebih 82% dari seluruh populasi Kambing ini terdapat di pulau jawa. Ternak ini umumnya dipelihara oleh peternak kecil di pedesaan dengan modal dan pendapatan rendah. Rata – rata pemilikan teranak berkisar 2 – 5 ekor per peternak. Bagi peternak, Kambing ini mempunyai arti sebagai hewan tabungan, penghasil pupuk dan member lapangan pekerjaan (Briajaya. 1986).
Produktifitas ternak Kambing pada saat ini di Indonesia sangat rendah. Sistem menejemen peternakan yang teradisional sangat berperan menyebabkan rendahnya produktifitas. Salah satu kendala yang dirasakan dan sering di abaikan  ialah gangguan penyakit cacing. Haemonchus contortus merupakan parasit nematode yang terpenting pada Kambing di Indonesia (Briajaya, 1986). Menurut Wargadipura dan Rumawas (1976) Haemonchosis merupakan penyakit yang bersifat endemis yang mengakibatkan  kerugian yang cukup besar, sedangkan menurut Angus (1978) infeksi yang disebabkan Haemonchus contortus bersifat sporadik.
Tingkat prevalensi Haemonchus contortus cukup tinggi yaitu dapat mencapai rata – rata 80% (Puslitbangnak, 1980). Selanjutnya Chotiah (1983) melaporkan bahwa prevalensi infestasi Haemonchus contortus pada Kambing di Lampung selatan dan Lampung tengah sebesar 86%, yang mengakibatkan 58% Kambing mengalami kematian, sedangkan Kambing yang masih hidup mengalami kekurusan. Berdasarkan perhitungan direktorat Jendral Peternakan (1974), 67% dari populasi Kambing dan domba di Indonesia menderita Haemonchosis dengan akibat penurunan berat badan sebesar 30% dan angka kematian 6,17% pada Kambing serta 4,18%  pada domba. Di perhitungkan kerugian yang ditimbulkan pada waktu itu Kambing sebesar Rp. 4. 366.769.703,-.
Menurut Rollison (1975: dalam Lubis, 1983), kerugian akibat parasit pada ternak di Indonesia diperkirakan sebesar US $ 600.000.000,00 dalam satu pelita, sekitar 120 milyar rupiah setiap tahun.
2.3.6.      Diagnosa
           Diagnosa penyakit sedini mungkin sangat diperlukan untuk menentukan  tindakan lebih lanjut dalam menanggulangi penyakit, baik dalam tindakan pengobatan maupun pencegahan. Sebaiknya Diagnosa yang salah akan lebih memperparah kejadian penyakit, bahkan dapat menyebabkan kematian.
           Diagnosa Haemonchosis yang disebabkan ol;eh larva infektif Haemonchus contortus dapat didasarkan atas tanda klinis atau gejala klinis, pemeriksaan tinja baik kwalitatip maupun kwantitatif dan pemeriksaan pasca mati (Lapage, 1956; Marsh, 1958). Selain itu Sood (1981) menyatakan bahwa diagnosa Haemonchosis dapat juga dengan uji interdermal menggunakan antigen yang disuntikan pada daerah pangkal ekor, reaksi dikatakan positif apabila bekas suntikan berdiameter sama atau lebih dari 10 mm.
2.3.7.      Gejala Klinis
Infestasi cacing Haemonchus Contortus jarang gejala kelinisnya terjadi secara murni, biasanya terjadi campuran dengan cacing lainnya, sehingga sering menunjukkan gejala klinis yang membingungkan. 
Gejala klinis yang ditimbulkan oleh Haemonchosis bervariasi dari akut sampai dengan kronis. Kasus akut rentan terjadi pada anak Kambing dan domba secara tiba – tiba. Hewan mati tanpa menunjukkan gejala selain anemia dah hidraemia (Lapage. 1956; Chotiah, 1982). Sedangkan kasus kronis ditandai dengan gejala anemia, kelemahan, mukosa dan konjungtiva pucat, anasarka, ascites, kekurusan, malas, mata cekung dan nafsu makan berubah. Kadang – kadang ditemukan sembelit atau diarrhea, jalan sempoyongan dan bulu rontok. Sering ditemukan busung di bawah dagu yang dikenal sebagai “bottle jaw” (Lapage. 1956; Blood dan Henderson, 1979).
Hungerford (1970) menyatakan bahwa gejala – gejala yang mencolok adalah kematian secara mendadak, anemia. uedema, mukosa pucat dan penurunan berat badan yang cepat. Pada infestasi yang berat dan bersifat akut dapat mengakibatkan kematian mendadak tanpa memperlihatkan gejala klinis.
Rue Jensen, 1974 (dalam Chotiah, 1982) menyatakan bahwa gejala klinis Haemonchosis pada Kambing induk ditandai dengan penurunan berat badan dan produksi susu dan uedema  di bawah rahang. Sedangkan pada anak Kambing ditandai dengan pertumbuhan terhambat, kurus dan ungkin berakhir dengan kematian. Diarhea jarang terjadi dan sewaktu autopsi ditemukan sejumlah cacing.
2.3.8.      Pemeriksaan telur dalam tinja
Leiver (1951) menyatakan bahwa adanya cacing yang ada di dalam lambung dan usus Kambing dapat diketahui dengan melihat adanya telur cacing dalam feses. Semakin banyak telur cacing ditemukan  di dalam feses, maka semakin banyak pula cacing yang ada di dalam lambung atau usus. Hal ini dapat diketahui dengan pemeriksaan feses secara dengan kwalitatif dan menghitung cacing post mortal, walaupun sangat sukar hubungannya karena hanya dapat menetapkan derajat infeksinya yaitu berat, sedang dan ringan.
Menurut Cordon (1971) perhitungan telur cacing tiap gram feses yang dinyatakan dengan ttgt. Ttgt yang tinggi menyatakan presentase dari cacing dewasa yang tinggi  dan sebaliknya hasil perhitungan ttgt rendah menyatakan presentase cacing dewasa sedikit. Dengan kata lain perhitungan ttgt menyatakan segala sesuatu tentang presentase cacing dewasa.
Untuk pemeriksaan laboratorium dipergunakan tinja yang diambil dari rectum atau yang belum lama keluar. Apabila tidak segera diperiksa, tinja tersebut dapat diawetkan dalam larutan 10% formalin atau fenol gliserin (Fenol:gliserin:air = 1 : 5 : 94).
Adapun tehnik pemeriksaan tinja dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu :
2.3.9.      Preparat Natif
Tinja (sebesar separuh butir beras) diletakkan di atas gelas obyek, ditambah satu tetes air. Setelah itu dicampurkan dan ditutup dengan glas penutup (couver glas) kemudian diperiksa di bawah mikroskop. Untuk
membedakan spesies cacing nematoda.
5.2.9. Pewarnaan Eosin 0,5%
Beberapa tetes eosin diletakkan di atas glas obyek, lalu dicampur dengan sedikit tinja dan diaduk hingga rata, tutup dengan couver glas. Periksa di bawah mikroskop.

5.2.10. Metode Apung (dengan NaCl jenuh)
Dasar dari metode ini adalah bahwa berat jenis telur cacing lebih kecil dari pada larutan NaCl jenuh, sehingga telur dapat mengapung di atas permukaan cairan.
Cara pemeriksaan sebagai berikut:
-          5 gram tinja dimasukkan ke dalam tabung centrifuge
-          Ditambah air sampai 2/3 tabung dan di aduk
-          Setelah di biarkan tenang 5 menit, air beserta bahan yang terapung di buang dengan hati – hati.
-          Ditambah air lagi sampai 2/3 tabung dan diaduk
-          Diputar 10 menit dengan kecepatan 5.000 putaran / menit
-          Cairan di buang dengan hati – hati
-          Ditambah NaCl jenuh sampai 2/3 tabung dan diaduk
-          Diputar 10 menit lagi
-          Tabung diambil dan diletakkan berdiri pada rak, kemudian ditambah NaCl jenuh lagi sampai permukaanya cembung
-          Setelah dibiarkan 5 menit, cairan yang cembung dalam tabung sentrifuge tersebut ditempelkan dengan couver glas.
-          Cairan yang menempel pada couver glas diperiksa di bawah mikroskop.


5.2.11. Metode Mc Master
-    2 gram tinja dimasukkan ke dalam mortir, kemudian ditambahkan air    garam jenuh 30 ml, digerus sampai merata.
-    Cairan tersebut disaring dan dimasukkan ke dalam tabung, tambahkan air garam jenuh hingga volume 60 ml.
-    Hasil saringan tersebut disaring kembali hingga cairan menjadi jernih.
-    Hasil akhir dikocok, kemudian dipipet dengan pipet Pasteur dan dimasukkan ke dalam kamar hitung whitlock.
-    Jumlah telur taip gram tinja adalah sama dengan jumlah rata – rata telur tiap kotak x 60.
5.3. Pemeriksaan Pasca Mati
Kulit dan membran mukosa pucat, darah encer dan organ – organ tubuh bagian dalam juga pucat, darah encer dan organ-organ tubuh bagian dalam pucat. Dalam ruang perikardium terdapat cairan, hidrotorak, asites dan kekurusan. Hati berwarna coklat mengkilat, rapuh dan terjadi degenerasi lemak hati.Abomasum berwarna merah kecoklatan, terdapat eksudat kekuningan, mukosa menebal dan terdapat bekas gigitan parasit berwarna merah. Kadang-kadang ditemukan ulkus pada abomasums sehingga terjadi abomasitis. Cacing ditemukan dalam jumlah besar di abomasum dan sedikit di usus (Lapage. 1956).

5.4. PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN
5.4.1. Pencegahan
Tidakan pencegahan lebih baik dari pada pengobatan. Meskipun tindakan pengobatan tidak dapat diharapkan mencapai keefektifan seratus persen, namun pengobatan yang tepat dapat mencegah lapangan dari kontaminasi dengan telur yang banyak, selanjutnya akan menurunkan populasi larva di lapangan.
Dalam usah pencegahan dan pengendalian suatu penyakit parasiter, khususnya helminthiasis diperlukan suatu pengetahuan tentang kapan, dimana dan mengapa penyakit tersebut muncul yang disebut epidemiologi (Kusumamihardja, 1982). Pengetahuan tentang siklus hidup, ekologi dan epizootiologi hendaknya sudah dikuasai dengan baik sebelum menentukan dan menerapkan metode control. Di Negara-negara yang telah maju dalam penelitian penyakit helminthiasis, dapat meramalkan kapan penyakit parasitik tersebut akan muncul berdasarkan sifat-sifat biologi parasit, jumlah ternak, keadaan padang  pengemabala dan faktor iklim, sehingga tindakan pencegahan dapat dilakukan secepatnya.
Kontrol berarti mempertahankan jumlah parasit pada tingkat yang tidak membahayakan, sehingga secara ekonomi tidak merugikan. Menurut Sood (1981) dan Thomas (1982) control mempunyai tujuan mengurangi populasi parasit dengan jalan memutuskan siklus hidupnya. Ada dua jalan pemutusan siklus hidup menurut Thomas (1982) yaitu:
a)      Pada induk semang dengan menggunakan obat cacing untuk   mengeluarkan parasit dan menghindarkan sumber kontaminasi di dalam
b)      Di alam, dengan menjauhkan hewan rentan dari larva infektik.
Kontrol akan berhasil jika kedua faktor di atas dilaksanakan sekaligus.
Kusumamihardja (1982) berpendapat bahwa pencegahan dalam penyakit parasit dapat dihubungkan dengan masalah pengobatan yaitu:
(1). Pengobatan untuk penyembuhan
(2). Pengobtan untuk pencegahan
(3). Pengobtan untuk penyelamatan

Pengobtan untuk penyembuhan dilakukan pada kelompok ternak bila dalam kelompok itu telah ada beberapa ternak yang sakit. Pengobatan untuk pencegahan dilakukan secara rutin dan menurut jadwal yang telah ditetapkan, misalnya pada anak Kambing diberikan obat cacing setelah disapih. Sedangakan pengobatan penyelamatan dilakukan pada ternak yang sakit saja untuk menyelamatkan ternak tersebut agar tidak mati.
     



Tindakan pengobatan dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :
(1). Menghindari kepadatan yang berlebihan
Mengurangi kepadatan ternak pada suatu daerah pengembalaan dimaksudkan untuk menghindari infestasi yang tinggi dan terus menerus. Populasi yang padat menyebabkan telur dan larva banyak tersebar di lapangan pengembalaan, hal ini tentu memperbesar  peluang terjadinya infestasi.
(2). Penggiliran lapangan pengembalaan
Pengembalaan dengan sistem rotasi merupakan cara yang baik hindari infestasi larva infektif. Menurut Taylor (1938) larva infektif yang disebarkan pada rumput sebagian besar mati pada minggu pertama, sehingga disarankannya agar lapangan ditinggalkan beberapa minggu untuk mengurangi bahaya. Gordon dan Turner (1946) melaporkan bahwa lapangan yang ditinggalkan selama dua bulan, jauh lebih aman dari pada lapangan yang ditinggalkan satu bulan, dan cara tersebut lebih efektif terhadap cacing Haemonchus contortus dari pada terhadap cacing nematoda lainnya (Kusumamihardja, 1982).
(3). Pemisahan ternak muda dan dewasa
Memisahkan anak Kambing atau Kambing muda dari Kambing dewasa adalah sangat dianjurkan, baik di dalam kandang maupun pada waktu digembalakan. Gordon (1948) Kambing dewasa mempunyai kekebalan yang lebih tinggi dari pada Kambing muda. Menurut Eysker (1982) anak Kambing yang baru disapih, yang dipisahkan dari Kambing dewasa, dapat terhindar dari bahaya infestasi Haemonchus contortus.
(4). Memilih jenis dan genetik yang peka
Courtney et al  (1985) melaporkan bahwa Kambing domestik lebih peka terhadap Haemonchosis dari pada kambing asing.
Courtnyet al al (1985) melaporkan bahwa ada hubungan antara kepekaan dengan golongan darah, dimana kepekaan meningkat sesuai golongan darahnya dimilai dari golongan darah, Hb AB, HbAA. Hal ini disebabkan karena HbA mempunyai afinitas terhadap oksigen lebih tinggi dibandingkan  HbB, sehingga HbA  lebih mudah mengatasi  haemorragi dan stres dari pada HbB (Altaif dan Dargie, 1978). Tetapi ada beberapa peneliti yaitu Yazwinski et al, 1979;  Windon et al, 1980 dan Ross, 1970 (dalam Courtney, 1985) menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara golongan darah dengan kepekaan.
(5). Sanitasi kandang
Kebersihan kandang akan mengurangi kemungkinan terjadinya infestasi larva infektif (L) Haemonchus contortus yang dapat menyebabkan Haemonchosis.


(6). Pemeriksaan kesehatan dan pengobatan secara teratur
Pemberian antihelmintika merupakan salah satu cara pengobatan untuk pencegahan. Briajaya (1986) mengemukakan bahwa pemberian obat cacing bersepektrum luas secara berkala dengan selang waktu sebulan sekali mempunyai efek menekan infeksi cacing nematoda dan juga memberi pengaruh terhadap kenaikan berat badan. Menurut Eysker (1982) pemberian anthelmintika pada Kambing induk menjelang melahirkan dan pada anak kambing yang baru disapih, Pada saat populasi larva di lapangan sedikit adalah sangat efektif untuk pencegahan Haemonchosis. Hal ini didukung oleh Kusumamihardja (1982) yang mengemukakan bahwa ditinjau dari segi pencegahan , pengobatan dianjurkan pada musim kemarau, karena pada saat itu populasi larva di lapangan rendah, sehingga peluang reinfestasi menjadi kecil. Tetapi apabila ditinjau dari segi klinis, pengobatan lebih baik diberikan pada musim hujan dari pada musim kemarau, karena pada musim hujan populasi cacing dewasa tinggi.
5.4.2. Pengobatan
Pada umumnya masayarakat belum menyadari keruigian-kerugian yang disebabkan oleh penyakit parasit pada ternaknya, karena parasit tidak atau jarang seakali membunuh induk semangnya.Pemberian obat cacing masih jarang dilakukan oleh para peternak mengingat belum disadari manfaatnya dan juga kemungkinan harganya belum terjangkau (Briajaya, 1986). Dalam pengobatan perlu diperhatikan perinsip ekonomi, yaitu mengenai keuntungan dan kerugiannya penggunaan obat tersebut. Banyak jenis anthelmentika yang beredar namun harus diperhatikan dalam hal kemanjurannya, toksisitas dan cara pemberiannya mudah atau tidak. Menurut Brundson (1970: dalam Kusumamihardja, 1982) dengan sering memberikan obat maka derajat infestasi akan tetap berada dititik bahaya, akan tetapi mengingat harga obat dan biaya pengobatannya cukup mahal maka secara ekonomis belum tentu menguntungkan.
Di lapangan biasanya berlangsung infestasi campuran dan ttgt 1000 menunjukkan saat untuk melakukan pengobatan (Soulsby, 1968).
Menurut Marsh (1958) Phenothiazin sangat efektif untuk mengatasi .Haemonchosis. Leiper (1951) mengatakan bahwa pengobatan dengan anthelmintika (missal phenothiazin) pada Kambing akan memberikan keuntungan yakni mencegah kenaikan jumlah telur cacing tiap gram tinja yang dikeluarkan selama musim semi dan sekaligus memberikan keuntungan pada anak-anak kambing kemungkinan terinfestasi oleh larva infektif sedikit sekali. Penurunann nilai ttgt berarti populasi cacing juga berkurang. Namun kemudian efek samping penggunaan obat ini pada hewan bunting terutama pada akhir kebuntingan dapat menyebabkan abortus.
Wargadipura dan Rumawas (1979) melaporkan bahwa pengobatan dengan dovenik 10 – 12,5 mg setiap kilogram berat badan secara sub-cutan yang diberikan pada Kambing dan domba sangat efektif melawan Haemonchus contortus. Hewan yang disuntik dovenik tidak mengalami gangguan fisik akibat obat ini, walupun hewan bunting fetus yang berada dalam kandungan tidak mengalami gangguan. Namun demekian efek samping dari penggunaan obat ini berupa peradangan lokal, tetapi dapat dihindari dengan membagi dosis dovenik yang tidak disuntikkan lebih dari 5 ml pada satu tempat penyuntikan.
Thiabendazol, dengan nama dagang TEZ efektif untuk membunuh Haemonchus contortus. Sood (1981) melaporkan hasil penelitiannya secara in vitro bahwa pengobatan dengan thiabendazol akan merubah morfologhi dan histochemikal usus cacing. Pengobatan dengan dosis 50 mg setiap kilogram berat badan memberikan efek lethal bagi telur Haemonchus contortus pada Kambing dan domba. Namun demikian ada efek samping penggunaan  obat ini yaitu dapat menyebabkan cacat (menyebabkan teratogenik) apabila diberikan pada hewan yang sedang bunting terutama pada saat umur kebuntingan 2 – 4 minggu. Selain itu obat ini meninggalkan residu 5 – 6 hari, sehingga hewan tidak dapat dipotong selama itu.
Menurut Lapage (1956) dan Marsh (1958) trusi (CuSo), campuran trusi (CuSo), dengan nikotin dan campuran trusi (CuSO) dengan arsenit efektif untuk pengobatan Haemonchosis. Menurut Bhalerao (1934: dalam Sood, 1981) campuran tembaga sulfat dengan tembakau dapat juga digunakan dengan sukses.
Briajaya (1986) melaporkan hasil penelitiannya di cerebon dengan memberikan Albendiazol 3,8 mg setiap kilogram berat badan secara peroral (drenching) didapatkan kenaikan berat badan 41 gram setiap hari, sedangkan di Bogor dengan menggunakn obat cacing levamisol phosphate didapatkan karena berat badan yang lebih tinggi yaitu 58 gram setiap hari.
Melihat keuntungannya, akhirnya obat cacing digunakan secara besar-besaran dan melampui batas untuk pengobatan, akibatnya beberapa strain parasit tahan terhadap beberapa obat cacing.  K.M. Dash (1986: dalam Waller, 1987) mengemukakan bahwa resistensi terhadap thiabendazol di Australia muncul karena pemberiannya hanya setengah dosis. Dosis yang diperlukan untuk melawan Haemonchosis di Australia sekarang meningkat dari 44 mg menjadi 50 mg setiap kilogram berat badan. Selain itu resisten terhadap levamisol telah terjadi juga di Australia, hal ini telah dilaporkan oleh Waller (1987). Tetapi di Negara kita  Indonesia, penggunaan anthelmintika masih jarang, sehingga kejadian resistensi tersebut belum ditemukan.
Disophenol merupakan obat yang efektif untuk Haemonchus contortus. Pemberian obat ini dengan dosis 7,5 mg setiap kilogram berat badan secara sub-cutan dengan jarak 3 bulan sekali sekali dapat menekan telur Haemonchus contortus yang terinfestasi secara alami. Keuntungan pemakaian obat ini harganya murah dengan jarak sekali penyuntikan cukup lama sehingga tidak menimbulkan resisten. Sdangkan penggunaan anthelmintika lainnya (seperti thiabendazol) membutuhkan jarak penyuntikan 3 minggu sekali, sehingga lebih memungkinkan timbulnya resistensi. Keuntungan lainnya obat ini dapat beredar cukup lama di dalam darah, sehingga dapat mencegah reinfestasi. Namun demikian ada kerugian pemakaian obat ini berupa residu obat selama 30 hari, sehingga hewan tidak bisa dipotong selama periode ini (Sotedjo et al, 1980).
Kemanjuran beberapa obat cacing terhadap Haemonchus contortus terdapat pada table 1.
Jika di daerah tida didapatkan obat-obat cacing tersebut, maka dapat digunakan obat tradisional. Menurut Arifin dan Soedarmona (1982) tembakau dapat digunakan sebagai obat cacing. Caranya adalah sebagai berikut 1 liter air di campurkan dengan tembakau sampai warna coklat tua (konsentrasi 40%), kemudian dicampur dengan trusi (kira-kira 30 gram) kemudian diaduk, campuran tersebut ditambah lagi air sebanyak 2 liter, dikocok kemudian diminumkan pada ternak yang cacingan. Ternak yang akan di obati harus dipuasakan selama setengah hari (12 jam) sebelum dan 6 jam sesudah pengobatan. Dosis yang diberikan untuk Kambing dan domba dewasa 50 ml setiap ekor secara peroral.
Self cure (penyembuhan sendiri) merupakan reaksi kekebalan yang pertama kali diperkenalkan oleh Stoll (1929: dalam Soulsby, 1979). Ia menemukan Kambing yang digembalakan tiba-tiba tahan terhadap infeksi dan reinfeksi. Gordon (1948) mengatakn bahwa pembentukan antibodi oleh larva ke 3 dan ke 4 menyebabkan terjadinya kekebaln induk semang terhadap infestasi cacing dan kejadian ini disebut reaksi Self cure. Stewart (1953: dalam soulsby, 1979) mengatakan bahwa pada kejadian “Self cure” dijumpai histamin darah meningkat. Diduga parasit ini dapat menyebabkan keluarnya faktor kemotatik seperti histamin, sehingga dapat merangsang eosinofil menuju tempat infeksi. Kejadian “self cure” menyebabkan populasi cacing akan menurun. Reaksi terhadap infestasi pertama bersifat ringan, karena belum ada kekebalan terhadap larva. Reaksi kekebalan ini mulai meningkat pada nfestasi berikutnya, kaeran kambing telah memiliki antibodi.

Tabel 2. Anthelmintika efektif terhadap Haemonchus contortus
Anthelmintika
Dosis/Berat Badan
Ternak
Ketarangan
Phenothiazine (Phenovis-ICI)
500 – 600 mg/kg
Domba dan kambing
Difektif pada stadium larva
Methyridine (Mintic, Promintic-ICI)
200 mg/kg s.c.
Domba, kambing dan sapi

Nephthalophos  (Rametin, Maretin-Bayer)
50 mg/kg
Domba, kerbau dan anak sapi
Effektif pada stadium belum dewasa
Trichlorphon (Negovon-Bayer)
50 ug/kg dalam 10% suspensi
Domba

Tetramisole hydroclorida (Nilverm-ICI)
15 mg/kg
Domba, kambing dan unta
Effektif pada stadium belum dewasa
Thiabendazole (Thiabendazole-MSD)
50 mg/kg
Domba dan kambing
Effek lethel terhadap telur
Parabendozole (Helatac-SKF)
30 mg/kg
Domba

Nitroxynil (Trodax-M & B)
12.5 mg/kg s.c.
domba


2.3. Darah
Darah terdiri dari cairan ekstraseluler (cairan plasma) dan cairan intraseluler (cairan dalam sel darah).  Darah Rata – rata volume darah mansia normal ialah sekittar 8% dari  bobot tubuh atau sekitar 5 liter (Guyton 1997).
Komponen darah terdiri dari 60% bagian cair (plasma darah) dan 40%  bagian padat (butir darah). Bila darah disentrifus terdiri dari tiga lapisan yaitu, 54% plasma darah pada lapisan pertama terdiri 91% air, 7% protein darah dan 2% nutrisi, hormon serta elektrolit, lapisan kedua adalah Buffy coat dengan persentasi 1% yang terdiri dari leukosit dan 45% eritrosit pada lapisan paling ketiga.

Gambar 2 darah yang telah disentrifuse

Darah beredar didalam sistem vaskuler dan melaksanakan fungsinya sebagai sistem transportasi nutrisi, oksigen, sisa – sisa metabolisme dan hormon dan juga sebagai alat pertahanan  tubuh dari benda – benda asing yang bersifat pathogen, infeksi bakteri ataupun virus. Selain itu dapat pula berperan dalam menjaga hemostatis dalam proses pembekuan darah dan penyembuhan luka (Guyton 199).

2.4. Sel darah Putih
Sel darah Putih (leukosit) berasal dari bahasa Yunani, leukos berarti putih dan kytos berarti sel. Istilah leukosit berasal dari sampel darah yang telah disentrifus, leukosit akan ditemukan Buffy coat, yaitu lapisan tipis berwarna putih khas yang terletak diantara lapisan sel darah merah yang tersedimentasi dengan lapisan plasma darah.
Dalam sistem prtahanan tubuh, leukosit merupakan unit yang paling aktif karena berperan dalam melawan berbagai penyakit infeksi dan benda asing (Guyton 1997; Maton  1993). Fungsi utama leukosit merusak bahan – bahan infeksius dan toksik melalui proses fagositosis ( membentuk antibody) (Guyton 1997).
Pembentukan leukosit sebagian dilakukan sumsum tulang   (granulosit, monosit dan sedikit limfosit) dan sebagian lagi di jaringan limfe (limfosit dan sel – sel plasma). Dalam satu liter darah manusia dewasa, jumlah normal leukosit sekitar 4-11x10 dan pada manusia dewasa yang sehat – sekitar 7.000 – 25.000 sel per tetes, sedangkan pada bangsa Kambing berkisar antara 7.200 – 17.700/mm³. Dalam kasus leukemia, jumlah leukosit dapat meningkat hingga 50.000 sel per tetes.

 




 Gambar 4 Buffy coat.
Morfologi leukosit berbeda dengan eritrosit dalam beberapa hal, yaitu leukosit memiliki inti, mengandung hemoglobin dan hanya memiliki satu bentuk  berdasarkan ada atau tidaknya granula, leukosit terbagi atas dua golongan besar yaitu agranulosit dan granulosit.
2.4.1.      Leukosit agranulosit
         2.4.1.1. Limfosit
Limfosit adalah jenis leukosit yang terlibat dalam sistem kekebalan pada vertebrata. Berdasarkan ukurannya, limfosit dibedakan menjadi dua kelompok besar yaitu, limfosit besar (large lymphocyte) dan limfosit kecil (small lymphocyte). Pada fetus, limfosit dibentuk sumsum tulang dan dipengaruhi oleh beberapa fungsi baik oleh kelenjar timus untuk limfosit T maupun bursa ekuivalen oleh limfosit B  dan kemudaian akan berdiferesiensi, sehingga dapat menghasilkan antibodi pada anak – anak (Mayer et al. 1992). Pada akhir masa fetal dan post natal, kebanyakan limfosit diproduksi di limfa, limfonodus dan usus yang berhubugan dengan jaringan limfoid. Limfopoiesis pada organ skunder bergantung pada stimulasi antigenik.
Limfosit sebagian besar disimpan dalam berbagai area jaringan limfoid kecuali pada sedikit limfosit yang secara temporer diangkut dalam darah (Guyton 1997). Limfosit tersebar dalam nodus limfe namun dapat juga dijumpai dalam jaringan limfoid khusus, seperti limpa, daerah submukosa dari traktus gastrointestinal dan sumsum tulang (Guyton 1997).

                2.4.1.2. Monosit
Monosit merupakan leukosit yang berukuran paling besar dibandingkan yang lainnya dalam peredaran darah (Haen 1995). Jumlah monosit 3-8% dari total leukosit dan pada bangsa Kambing, jumlah monosit 0 – 6% (Cornell University 1996). Morfologi monosit dapat digambarkan sebagai berikut, memiliki satu nukleus, besifat motil dan fagositik, sitoplasma lebih banyak dari limfosit, berwarna abu – abu pucat dan memiliki inti berbentuk lonjong dan seperti ginjal atau tapal kuda (Jain 1993; Swenson dan Reece 1993) serta memiliki diameter 12 – 18 µm (Dellmann dan Eurell 1998). Menurut Dellmann dan Eurell (1998) monosit adalah precursor makrofag jaringan yang memiliki inti pleomrfik, artinya intinya bisa terlihat panjang, berbntuk tidak teratur, padat, berlekuk, berbentuk seperti tapal  kuda, dan kadang agak berlobus. Pada umumnya monosit dikenal, sebagai sel yang berwarna terang sampai biru tua dan memiliki inti yang tidak bulat. Pada umumnya, luas kormatin monosit lebih luas dari pada neutrofil dan limfosit dan pada beberapa spesies, monosit akan terlihat seperti granula kecil yang berwarna merah muda (pink) (Cornell University 1996).
Jumlah monosit pada bangsa Kambing antara 0 – 6% dari total leukosit. Masa edar monosit dalam aliran darah 1 - 3 hari dan kemudian masuk kedalam jaringan di seluruh tubuh dan akan berubah menjadi makrofag (Tizard 1982). Perubahan monosit menjadi makropag, terjadi saat monosit bergerak dari aliran darah menuju jaringan dengan cara kemotaksis dan dibantu dengan limfokin (Swenson dan Reece 1993). Limfokin adalah substansi yang dihasilkan oleh leukosit yang berperan dalam aktivasi makrofag, transformasi limfosit, dan kekebalan dengan perantara sel (Haen 1995). Monosit yang telah menjadi makrofag baik pada aliran darah maupun pada jaringan disebut sebagai sistem fagoositik mononuklear. Fungsi sistem tersebut adalah menghancurkan dan mengolah bahan asing yang masuk kedalam tubuh sehingga dapat memberikan respon tanggap  kebal (Tizard 1982).
Fungsi utama monosit dalam sistem imun, yaitu merespon adanya tanda – tanda inflamasi dengan cara bergerak cepat (kira – kira 8 – 12 jam) ke tempat yang terinfeksi, mengirimkan makrofag dan sel dendrit untuk merangsang respon imun, membentuk protein dari satu komplemen dan mengeluarkan subtansi yang mempengaruhi terjadinya proses peradangan kronik (Swenson et.  al   1993), bertanggung jawab terhadap pemerosesan dan pembuangan senescent sel  (sel mati) dan debris (pecahan sel) serta mempiltrasi bakteri dan racun dari darah fortal (Mayer et. 1992). Kontak yang dekat antara limfosit dan monosit diaktifkan dari limfokin – limfosit T (Ganong  1993).
Monosit muda mempunyai kemampuan yang sangat kecil untuk melawan infeksi, tetapi setelah memasuki jaringan, ukuran diameternya akan mulai membesar dan meningkat hingga lima kali lipat sampai berukuran 80 µm. Makrofag memiliki peranan yang sanbgat penting dalam inflamasi karena mengandung dan mensekresikan banyak substansi aktif  biologis, termasuk enzim proteolitik, interferon, interleukin-1, komponen komplemen, prostaglandin, dan protein carier.  
           2.4.2.      Leukosit granulosit
Leukosit granulosit adalah leukosit yang memiliki ciri khas karena berdiameter hampir sama (10 – 15 µm), memiliki butir spesifik yang  jelas meskipun ukuran, bentuk dan afinitas pewarnaan dapat berbeda pada setiap spesies dan intinya bergelembir (Polymorphnuclear) (Hartono 1989). Pembentukan dan penyimpanannya, dilakukan oleh sumsum tulang  dan saat diperlukan oleh tubuh akan segera dilepaskan pada sistem sirkulasi. Dalam keadaan normal, leukosit granulosit yang bersirkulasi dalam darah kira – kira tiga kali jumlah yang disimpan dalam jumlah sumsum tulang, jumlah ini sesuai dengan persediaan leukosit granulosit selama 6 hari (Guyton 1997).
2.5. Neutrofil
Neutrofil dalam sirkulasi darah merupakan sel – sel matang yang dapat menyerang dan menghancurkan bakteri dan virus (Guyton 1997). Pada bangsa reftil, burung, kelinci dan amfhibi, neutrofil disebut dengan heterofil dan pada beberapa mamalia, neutrofil merupakan leukosit utama dalanm darah (Cornel university 1996). Neutrofil, basofil dan eusinofil diklasifikasikan sebagai polymorphornuclear cell (PMNs 2013), hal ini dikarenakan karateristik dari intinya yang berbentuk multilobus (Anonimus, 2013)
Struktur neotrofil terdiri dari mitokondtria, sedikit badan golgi kompleks, poliribosom, glikogen dan granula – granula, berdiameter 12 – 15 µm, inti bergelimbir 2 – 5 yang dihubungkan oleh lapisan tipis dan sitoplasmanya bergranula yang bersifat eosinifilik dan basofilik (Dellmann dan Eurell 1998). Jumlah neutrofil sekitar 55 – 70% dari total leukosit dan memiliki rata – rata 330 femtoliter (f1). Pembentukan dilakukan oleh sumsum tulang bersama – sama sel granulosit lainnya, kemudian beredar didalam sirkulasi darah atau dsimpan di dalam poll marginal (pinggiran dalam dari pembuluh kapiler dan pembuluh darah kecil) setelah 4 – 6 hari masa produksi (Foster et al. Tizard 1988).
Indikasi sel neutrofil yang telah matang ditandai dengan adanya inti yang berlobus – lobus yang dihubungkan oleh filament dan lebih dikenal dengan nama sel yang bersegmentasi (segmented cell), sedangkan sel neutrofil yang belum matang masih memiliki satu buah lobus yang terlihat seperti pita dan disebut neutrofil muda  (bands neytrofil) (Foster et, al; Swenson dan Reece 1993). Neutrofil band akan dilepaskan ke sistem sirkulasi selama adanya respon granulositik (Delmann dan Eurell 1998) dan berjumlah kira – kira sekitar 100 – 300/µ1 (Foster et al. 2013).
Neutrofil berperan sebagai garis pertahanan pertama dalam melawan mikroorganisme asing khususnya melawan infeksi bakteri (bakteri gram negative dan beberapa bakteri gram positif) (Delmann dan Eurell 1998; Mayer 2004). Pada saat terjadi infeksi bakteri akut, bakteri akan merusak sel dan sel akan melepaskan faktor kemotaktik   tersebut akan menarik neutrofil ke dalam jaringan melalui proses diapedesis dan neutrofil akan menuju ke lokasi infeksi untuk melakukan fagositosis (Mayer et al. 1992) seperti pada gambar 6. Setelah memfagositosis benda asing,  enzim lisosom akan mencerna benda asing tersebut kemudian neutrofil akan mengalami otolisis dan melepaskan zat – zat hasil degradasi ke dalam sehingga produksi neutrofil melalui jaringan limfe. Jaringan limfe akan mengeluarkan histamin dan faktor leukopoietik (sitokin dan interleukin) yang merangsang sumsum tulang melepaskan cadangan neutrofil sehingga cadangan neutrofil akan meningkat.
Adapun  fungsi netrofil antara lain : (1) Fagositosis dan mengandung zat yang bersifat bakteriosidal (Duncan dan Keith 1977). Setiap hasil fagositik akan disekresikan sebagai oksigen reaktif dan enzim hidrolitik. (2) Melepaskan bermacam – macam prion dalam tiga tipe granula yang disebut dengan proses degranulasi. Granula spesifik dan azurofilik bekerja sama dalam memfagosit bakteri. (3) Berpran juga dalam koagulasi, fibrinilosi, mengaktivasi limfosit dan stotoksik (Dlmann 1998).
Tabel.1 Tipe Granula dan Jenis Proteinnya (Dellman dan Eurell 1998)

Tipe granula
Protein
Granula Azurophilic (Primary Granules)
Myeloperoxidase, bakteriasidal/ meningkatkan permeabilitas protein (BPI), pertahanan dan serine proteases neutrophil elastase dan cathepsin G
Asal hidrolik enzim dan lisosim
Granula Spesifik (Secondary Granules)
Lactoferrin dan cathelicidin
Bacterial lisosim, cationic protein, myeloperoksidase
Granula Tertiary
Cathepsin, gelatinase





Gambar 5 Neutrofil bermigrasi dari  pembuluh darah menuju jaringan dan menyelubungi bakteri melalui fagositosis.
Rata-rata masa hidup neutrofil yang tidak aktif pada sistem sirkulasi sekitar 4-10 jam (anonimus 2013)  sedangkan masa hidup neutrofil yang telah bermigrasi (posisinya berdekatan dengan sel endotel buluh darah) ke jaringan mampu bertahan selama 1-2 hari (Anonimus 2013)

Gambar 6 beberapa neutrofil pada beberapa spesies hewan dan neutrofil muda/ neutrofil band

2.6. Eosinofil
Eosinofil merupakan leukosit yang memiliki 2 buah lobus yang dihubungkan oleh selaput dari materi inti dan terkadang disebut dengan acidofil. Dalam sistem pertahanan tubuh, eosinofil bertanggung jawab dalam melawan infeksi dan parasit juga mengontrol mekanisme yang berkaitan dengan alergi dan asma (Anonimus 2013).
Pada manusia dewasa, dalam keadaan normal, jumlah eosinofil sekitar 1-2% atau 1 – 3% dari total leukosit (Guyton 1997), sedangkan pada hewan jumlah eosinofil berkisar antara 1 – 4% atau kurang dari 5% dari total leukosit (Nordenson 2002; wick 1997) dan pada bangsa kambing jumlah normal eosinofil berkisar antara 0 – 6% dari total leukosit (Cornell University 1996).
Adapun struktur eosinofil dapat digambarkan sebagai berikut, berdiameter 12 - 17µm (Young et al. 2006), terdiri dari nukleus polimorfik yang sedikit padat dan bersegmen (Dellmann dan Eurell 1998) serta sitoplasmanya mengandung granula yang bersifat eosinofili. Sebagai Eosinofil yang matang, granula azurofilik akan menghilang atau berubah menjadi granula yang spesifik (Dellmann dan Eurell 1998). Secara umum, inti eosinofil yang telah matang (mature eosinofhil), lebih pendek dan sedikit bersegmen dibandingkan dengan inti neotrofil dan sitoplasma (jika terlihat), berwarna biru muda (Cornell University 1996). Eosinofil pada ruminansia (Kambing, domba dan sapi) memiliki jumlah granula yang sama dan yang berwarna jingga serta hampir mengisi sel (Cornell University 1996; Dellmann dan Eurell 1998).
Sebagian besar eosinofil, dibentuk, berkembang dan matang di sumsum eosinofil bermigrasi ke jaringan, eosinofil akan dibedakan menjadi eosinofil yang menghasilkan sitokin interleukin 3 (IL – 5), interleukin 5 (IL – 5), dan faktor perangsang koloni granulosit (GM – CSF) yang berasal dari respon sel prekursor myeloid (Metcalf et al. 1986, 1987; Yamaguchi 1988).
Berikut beberapa fungsi dari eosinofil dalam sistem pertahanan tubuh: - Bertanggung jawab dalam melawan infeksi dan infestasi parasit pada      vertebrata (Anonimus 2013).
-       Mengontrol mekanisme yang berhubungan dengan regulasi alergi dan asma serta beberapa penyakit berat (Dellmann dan Eurell 1998).
-       Memakan atau menelan pertikel asing kedalam tubuhnya (Foster et al. 2008),
-       Dalam kondisi tertentu, eosinofil juga berperan dalam melawan infeksi virus, karena RNAnya mengandung banyak granula dan fibrin untuk membersihkan infeksi selama terjadinya inflamasi peradangan (Dellmann dan Eurell 1998).
-       Berperan juga dalam melawan kolonisasi cacing dalam bebtuk larva,
-       Mengatur produk dari sel mast atau basofil yang dilepaskan dalam respon terhadap stimulasi IgE. Contohnya histamin yang dilepaskan oleh basofil atau sel mast diatur oleh histamin yang berada dalam eosinofil (Anonim 2013).
-       Mempengaruhi proses biologis lainnya, termasuk perkembangan kelenjar mamae pada saat postbertas, siklus estrus, penolakan allograft dan neoplasia (Rotehenberg 2008).
-       Bertanggung jawab terhadap produksi – produksi : protein granula kationik dan pelepasannya melalui degranulasi (Trulson et al. 2007), produksi oksigen reaktif seperti superoksida (Saito et al. 2004), mediator lemak seperti eicasanoid dari leukotrien, misalnya, LTC, LTD, LTE, dan golongan prostaglandin (PGE) (Bendeira et al. 2002), enzim elastase, growth promoter (pemicu pertumbuhan), msalnya TGF beta, VEGF beta, VEGF, dan PDGF (Kato et al. 2013; Horiuchi 1997), sitokin seperti IL-1, IL2, IL3, IL4, IL5, IL6, IL7, IL8, IL13, dan TNF alpha (Rothenberg 2008).
Mekanisme eosinofil dalam mengatasi infeksi kecacingan dengan cara melekatkan diri pada parasit dan membunuhnya melalui tiga cara. Pertama, eosinofil akan melepaskan enzim hidrolitik dari granulanya yang telah dimodofikasi oleh lisosom. Kedua, dengan melepaskan oksigen dalam bentuk yang sangat reaktif dan bersifat mematikan. Ketiga, Eosinofil akan melepaskan suatu polipeptida yang bersifat larvasida, protein dasar utama dari granulanya. Eosinofil diduga mendetoksifikasi beberapa subtract pencetus peradangan yang dilepaskan oleh sel mast dan basofil dan juga memfagositosis serta menghancurkan kompleks antibody-allergen sehingga penyebaran proses peradangan dapat dicegah (Guyton 1997).

Gambar 7 1ustrasi eosinofil.
Distribusi eosinofil dalam darah sekitar  20 menit dan akan bertahan selama 8 – 12 jam, kemudian masuk kedalam jaringan dan jika tidak ada stimulasi dapat bertahan selama 8 – 12 hari (Guyton 1997; Young et al. 2006).  Peningkatan jumlah eosinofil dapat terjadi bila tubuh mengalami infeksi, misalnya  kecacingan (Guyton 1997).

2.7. Basofil
Basofil merupakan leukosit granulosit dengan jumlah yang paling sedikit, 0,5 – 1,5% dari total leukosit. Ukuran basofil 10 – 15 µm dengan inti bergelambir 2 – 3 dan bentuknya tidak teratur, sitoplasma besar dengan inti sel yang tidak begitu jelas terlihat dan berwarna biru tua sampai ungu (Dellmann dan Brown 19992), serta granulanya bersifat basofilik dan akan terwarnai dengan pewarnaan alcohol.
Basofil memiliki granula yang homogen, rER mitokondria, dan kompleks golgi (Dellman dan Eurell 1998). Granula basofil mengandung  heparian, histamin, asam hialunat, kondroitin sulfat, serotonin dan beberapa faktor  kemotaktik. Heparin berfungsi untuk mencegah pembekuan darah dan histamin berfungsi untuk menarik eosinofil untuk mengaktifkan heparin (Lubis 1997).
Pada tiap spesies, ukuran, jumlah dan reaksi granula terhadap pewarnaan akan menunjukkan hasil yang berbeda – beda, misalnya basofil pada anjing sulit untuk dikenali karena jumlahnya sedikit meskipun granulanya besar sehingga tidak bisa terbaca dengan mudah dibandingkan basofil pada sapi dan kuda (Dellmann dan Eurell 1998; Cornell University 1996). Basofil pada anjing memiliki ciri yang khas, nukleus yang panjang dan melipat, digambarkan sebagai pita (ribbon – like) dan sitoplasmanya berwarna abu-abu sampai lavender (lembayung muda), dan jarang ditemukan pada anjing yang sehat (Cornell University 1996). Pada kucing, granula basofilnya berbentuk batang, dan biasanya pada saat diwarnai akan berwarna orange-abu-abu pudar (Dellmann dan Eurell 1998). Pada spesies domestik lain, basofilnya memiliki granula yang besar, berbentuk bola atau oval, berwarna ungu kemerah-merahan dan biasanya akan menutupi intinya (Dellmann dan Eurell 1998). Pada kuda, ruminansia dan mamalia, basofilnya hampir sama mirip satau sama lain (Cornell University 1996). Sel ini memiliki banyak granula-granula kecil berwarna ungu tua dengan inti yang tidak jelas. Tanda panah pada gambar basofil sapi berikut, menunjukkan adanya inti yang berlobus. Beberapa basofil memiliki sedikit granula, hal ini kemungkinan terjadi karena sampel darah telah mengalami degranulasi (Cornell university 1996).

Gambar 8 Macam-macam basofil pada hewan domestik.
Jumlah basofil yang rendah biasanya ditemukan pada darah kuda dan sapi yang sehat. Pembentukan basofil terjadi dalam sumsum tulang bersamaan dengan pembentukan neuotrofil (Duncan dan Keith 1997; Jain 1993). Basofil memproduksi antigen spesifik dan diregulasi oleh basophilopoietiens yang diproduksi dari aktivasi limfosit T (Jain 1993). Khususnya, interleukin-5, interleukin-3, dan GM-CSF yang mengatur produksi basofil dan sel mast, diferensiasi dan pematangan serta memproduksi juga interleukin-4 (Denburg et al. 1991; Ebisawa et al. 1989 dalam jain 1993). Basofil dan sel mast merupakan sumber hevarin dan aktivator lipase lipoprotein plasma (plasma lipemia pembersih agen) (Duncan dan Keith 1997). Meskipun berkembang sebagai sistem yang terpisah, namun keduanya saling melengkapi (Dellmann dan Eurell 1998), hal tersebut karena keduanya yang berperan dalam kondisi alergi (alergi condition) (Mayer dan Harvery 2004). Baik basofil maupun sel mast dapat melepaskan granulanya melalui proses kemotaksis dan secara fungsional mampu untuk meresentesis granulanya (Dellmann dan Eurell 1998).
 Dalam sirkulasi darah, morfologi basofil mirip dengan sel mast besar karena letaknya tepat disisi luar kapiler darah dalam tubuh. Basofil memiliki reseptor IgE yang menyebabkan terjadinya degranulasi melalui proses  eksositosis (Dellmann dan Brown 1992). Adanya reseptor tersebut, mengakibatkan basofil dapat membangkitkan reaksi hipersensitifitas dengan mensekresikan mediator vasoaktif, sehingga dapat menyebabkan peradangan akut pada tempat antigen berada (Tizard 1982). Dalam keadaan terstimulasi, basofil akan melepaskan leukotriens dan mungkin platelet activating factor.  Mediator-mediator tersebut akan mengakibatkan kontraksi otot halus, menginisiasi pembentukan oedema dan dapat menyebabkan koagulasi (Mayer et al. 1992). Selain itu pada saat terjadinya peradangan, basofil akan melepaskan histamine dan sedikit bradikinin, serotonin sehingga menyebabkan reaksi jaringan dengan meninfestasi alergi (Guyton 1997). Masa hidup basofil beberapa hari sedangkan sel mast bisa berminggu-minggu sampai berbulan-bulan (Jain 1993).
2.8. Trombosit
Platelat  atau trombosit merupakan fragmen sitoplasmik dari megakariosit, pleomorfik dan memperlihatkan variasi dalam bentuk dan ukuran (Jain 1993). Berdasarkan bentuknya, trombosit berbentuk bulat kecil atau cakram oval dengan diameter 2 – 4 µm (Guyton 1997). Sedangkan menurut Jain (1993), diameter trombosit sekitar 2,5 µm dan panjang sekitar 3,5 µm.
Trombosit diproduksi dari bentuk megakariosit baru sekitar 3 – 4 hari (Jain 1993) dengan masing-masing megakariosit dibentuk memproduksi antara 5.000 – 10.000 trombosit (Anonim 2013). Pada fetus, trombosit dibentuk dihati, limpa dan sumsum tulang sedangkan pada mamalia dewasa, trombosit dibentuk disumsum tulang.
 Waktu paruh trombosit dalam  sirkulasi darah pada masing-masing hewan berbeda-beda, normalnya sekitar 3 – 11 hari (Jain 1993) sedangkan pada manusia sekitar 8 – 12 hari (Guyton 1997) kemudian akan dihancurkan oleh limpa dan sel kupffter yang berada di hati (Anonimus 2013).
Peranan trombosit selain dalam proses pembekuan darah juga berperan dalam mempertahankan homeostasis (Guyton 1997; Jain 1993). Fungsi trombosit dapat bersifat umum dalam beberapa katagori, yaitu : (1) Untuk berfungsi sebagai adhesif, karena trombosit yang satu dengan yang lainnya dapat saling menempel melalui reseptor perlekatan atau intergrins, (2) Pengumpulan, platelet-platelat yang distimuli oleh aktivasi dari thromboxane dan a2 receftor. Tetapi stimulasi atau rangsangan tersebut dapat dihambat oleh produksi inflamatori lainnya seperti PG12 dan PGD2, dan (3) Fagositosis (Movat et al. 1965)
Jumlah normal trombosit pada manusia sehat sekitar 15.000-400.000/mm3 dari total darah (150-400x10/L) sedangkan pada hewan jumlah total trombosit berbeda-beda, berikut jumlah normal pada masing-masing hewan.



Tabel. 2 jumlah trombosit normal pada masing-masing hewan
Komponen Darah
Canine
X 109/L
Feline
X109/L
Equine
X 109/L
Bovine
X 109/L
Caprine
X 109/L
Porcine
X 109/L
Trombosit1)
117-418
93-514
160-650
83-270

325-700
Trombosit2)
179-483
201-523
98-246
232-596
245-975

1) sumber : http://www.uoguelph.ca
2) sumber : http//www.diaglab.vet.cornel.edu

Jumlah trombosit yang melebihi batas normal disebut dengan thrombocytosis atau thrombosis sedangkan jumlah trombosit dibawah normal disebut trombositopenia. Baik thrombocytosis maupun trombositopenia mungkin berkaitan masalah koagulasi. Penyebab umum trombositosis adalah adanya kelainan myeloproliferatif (Anonimus 2013). Sedangkan penyebab trombositopenia anatara lain: (1) Penyebab umum yaitu, meningkatnya pendarahan (kecuali heparin-induced thrombocytopenia immun ), (2) Penurunan produksi thrombopoietin oleh hati. Hal ini terjadi karena adanya liver failure, spesies, infeksi virus atau bakteri sistemik, (4) Demam berdarah karena penyakit ini dapat menginfeksi langsung pada sumsum tulang megakariosit sebagai pertahanan trombosit secara imunologis (Anonim 2013).
Sel darah merah atau eritrosit yang berasal dari bahasa yunani (eritro = merah, sit = sel). Eritrosit adalah sel-sel yang diameter rata-ratanya sebesar 7,5µ, dengan spesialisasi untuk pengangkutan oksigen. Sel-sel ini merupakan cakram (disk) yang bionkaf, dengan pinggiran sirkuler yang tebalnya 1,5µ dan pusatnya yang tipis (Frandson, 1993).
Menurut sukaryorini (2006), Eritrosit adalah sel darah yang mengandung Hemoglobin (Hb). Hemoglobin merupakan protein yang mengandung zat besi yang berkonjugasi (heme + globin). Hemoglobin akan  berfungsi dengan baik bila masih berada dalam eritrosit. Oleh karena itu fungsi utama eritrosit sama dengan fungsi hemoglobin, yaitu mengikat oksigen dari paru-paru dan membagikan keseluruh jaringan tubuh, sebaliknya mengikat karbbondioksida dari seluruh jaringan ke paru-paru. Secara umum Gambaran darah normal dapat telihat pada
Tabel 1 Gambaran Darah Normal Pada Ternak Kambing Sebagai Berikut:
1
RBC (Sel Darah Merah)
8.0 - 18.0x10
2
PCV (Packed CEl Volume)
19 - 38%
3
HB (Hemoglobin)
8 – 14 g / 10 m
4
MCV (Mean Corpuscular Volume)
15 – 30 µ
5
MCH (Mean Corpuscular Haemoglubin)
10 – 12,6 µ µ gr
6
MCHC (Mean Corpuscular Haemoglobin Cell)
35 – 42 %
Sumber : midway (1969)

Adanya Haemoglobin di dalam eritrosit memungkinkan timbulnya kemampuan untuk mengangkut oksigen, serta menjadi penyebab timbulnya warna merah pada darah. Dari segi kimia, Haemoglobin suatu senyawa organik yang kompleks yang terdiri dari empat pigmen porfirin merah (heme), masing-masing mengandung atom besi ditambah globin, yang merupakan protein globular yang terdiri dari rantai asam-asam amino. Hemoglobin bergabung dengan oksigen udara yang terdapat didalam paru-paru, hingga terbentuklah oksihemoglobin (HBO2), yang selanjutnya melepaskan oksigen itu ke sel-sel jaringan di dalam tubuh. Adanya Hemoglobin,  darah dapat mengangkut sekitar 60 kali oksigen lebih banyak dibandingkan dengan air dalam jumlah dan kondisi yang sama (Frandson, 1993). Hitungan darah menyajikan prosedur Laboratorium yang berguna untuk memperkirakan jumlah dan jenis-jenis sel dalam darah yang bersirkulasi dalam tubuh hewan pada waktu tertentu. Hitungan total dinyatakan dalam jumlah sel dalam milimeter kubik darah. Hitungan ini berlaku baik untuk sel darah merah ataupun sel darah putih, walaupun teknik dan peralatannya agak berbeda.
Hitungan sel darah merah total ditentukan dengan mengencerkan suatu jumlah darah dengan menggunakan suatu jenis pengencer darah tertentu  di dalam suatu pipet sel merah untuk menghasilkan suatu larutan satu bagian darah dengan 200 bagian cairan pelarut. Darah
Beserta cairan pelarut. Darah beserta cairan pelarut itu dicampur merata didalam suatu pipet khusus, dan kemudian dimasukkan kedalam suatu ruang suatu penghitung dari suatu slide yang khusus, dan kemudian dimasukkan ke dalam suatu ruang penghitung  dari suatu slide yang khusus, dengan kedalaman 0,1 mm, satu millimeter persegi ruang hitung terbagi menjadi 400 bujur sangkar yang lebih kecil. Sel-sel merah dihitung jumlahnya didalam 400 bujur sangkar atau suatu bagian tertentu dari padanya. Jumlah sel-sel merah yang terhitung dikalikan  dengan angka yang sesuai untuk mendapatkan keseluruhan sel merah didalam satu millimeter kubik darah yang terencerkan, dan angka itu kemudian dikalikan dengan pengenceran untuk mendapatkan jumlah sel-sel merah dalam satu millimeter kubik darah asli (Frandson, 1993).




BAB III
MATERI DAN METODE PENELITIAN

3.1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan adalah suatu cara untuk mencari jawaban dari rumusan masalah . Pendekatan dalam suatu penelitian tergantung gejala yang akan diteliti, apakah gejala itu dirancang  cara khusus untuk diselidiki ataukah gejala yang diselidiki telah ada secara wajar (Arikunto, 2002). Apabila penelitian yang bertujuan untuk mencari hubungan antara dua variable yang tidak mempunyai hubungan kausal (sebab akibat), atau hubungan fungsional sebagai fenomena untuk mencari faktor-faktor apa, atau situasi sebagaimana yang menyebabkan timbulnya suatu peristiwa tertentu, maka digunakan penelitian study regresi linear sederhana, karena ingin mengetahui jumlah telur antara cacing telur cacing Haemonchus sp. dengan jumlah Sel darah putih dan PCV.

3.1.2. Populasi dan Sampel
1.      Populasi Penelitian
Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian (Arikunto, 2002). Apabila seseorang ingin meneliti semua elemen yang ada dalam wilayah penelitian , maka penelitiannya disebut penelitian populasi. Pendapat lain mengatakan  bahwa “piopulasi merupakan seluruh data yang menjadi perhatian dalam suatu ruang lingkup dan waktu yang kita tentukan” (Azwar dan Prihartono, 2003).
Yang dijadikan populasi dalam penelitian ini adalah kambing kacang yang ada di Kecamatan Kuripan Kabupaten Lombok Barat.

2.      Sampel Penelitian
 Sampel merupakan bagian dari populasi yang dikenai penelitian. Azwar (2003) berpendapat karena tidak mungkinnya penyelidikan selalu langsung menyelidiki segenap populasi, maka penelitian menggunakan sebagian saja dari populasi yakni sebuah sampel, yang dianggap refresentatif terhadap populas itu. Hal serupa dikemukakan oleh Arikunto (2002) bahwa, jika kita hanya meneliti sebagian dari populasi, maka  penelitian ini disebut penelitian sampel. Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang akan diteliti.
Apabila sampel penelitian yang sifatnya homogen maka jumlah sampel tidak terlalu banyak (Azwar dan Prihartono, 2003). Jumlah sampel yang digunakan sebanyak 22 sampel pada petani ternak dengan menggunakan metode random (acak), 1,6 – 1,8 bulan dan jenis kelamin yang sama. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Diskriptif. Penelitian ini dimulai bulan agustus 2013 – oktober 2013. Pemeriksaan elur cacing diperiksa dilaboratorium Balai karantina Pertanian Kelas 1 Mataram, Wilayah Kerja Lembar.
3.1.3. Alat Dan Bahan
1.      Alat Untuk Pemeriksaan Sampel Tinja
Alat-alat yang dipergunakan dalam pemeriksaan sampel tinja  antara lain:
1. Mikroskop
2. Whitlock chamber
3. Tabung feces
4. Gloves (sarung tangan)
5. Pipet
6. Timbagan elektrik
7. bola-bola gir
2.      Bahan-bahan
Bahan-bahan yang dipergunakan dalam sampel tinja antara lain:
1.    Tinja sebanyak 1,25 gram yang diambil langsungdidalam rektumnya.
2.    Formalin 10%
3.    Air
4.    NaCl jenuh

2.      Alat-alat untuk pemeriksaan Sampel Darah
Alat-alat yang dipergunakan dalam pemeriksaan  sampel darah antara lain:
1.      Tabung serologis kapasitas 5 ml
2.      Spuit 1 ml / 5 ml
3.      1 set hemocytometer yang berisi:
1.      1  Kamar hitung buerker Thoma atau Neurbaur
2.      1  pipet leukosit yang bersekala 0 – 0,5 – 1 – 10

3.      Bahan-bahan
Bahan-bahan yang dipergunakan dalam pemeriksaan sampel darah antara lain:
1.      Darah kambing
2.      Suspensi darah kambing 1%
3.      Kertas bersih (non absorbent)
4.      Kertas saring
5.      Larutan Hayen
R/Hg Chlorida                              0,5 g
Na Chlorida                           1,0 g
Na Sulfat krist                       5,0 g
Aquadest ad                          200,0 ml

3.2.Metode
3.2.1.      Metode Pemeriksaan Sampel Tinja
Metode yang digunakan dalam pemeriksaan sampel tinja dalam penelitian ini adalah metode apung. Cara kerja pemeriksaan sampel tinja adalah sebagai berikut:
1.      Timbang 1,25 gram tinja dalam sedimentasi flask.
2.      Masukkan tinja ke dalam tabung feces yang telah diberi bola-bola gir serta tambahkan sebnyak 15 ml air dan dikocok hingga homogen
3.      Tambahkan NaCl jenuh hingga volume keseluruhannya mencapai 50 ml, kocok kembali hingga homogen.
4.      Ambil dengan menggunakan pipet dan masukkan kedalam kolom-kolom whitlock chamber yang ada, kemudian secara perlahan merembeskannya pada bagian mulutn chamber serta hindari terbentuknya gelembung udara.
5.      Identifikasi jumlah telur cacing Haemonchus sp. dibawah mikroskop cahaya dengan perbesaran 40 X.
Total perhitungan jumlah telur cacing
= Jumlah telur cacing x 16
3.2.2.      Cara Kerja Pemeriksaan Sampel Darah 
Setelah sampel diambil dan dikumpulkan selanjutnya dilakukan pemeriksaan sel darah putih di Labopratorium Balai Karantina Pertanian Kelas 1 Mataram, Wilayah Kerja Lembar dengan tahapan sebagai berikut:
1.      Darah diambil dengan pipet untuk Leukosit sampai tepat dibatas garis 0,5. Apabila darah di sedot melewati garis batas ini, keluarkan darah yang lebih dengan mengusap ujung pipet pada kertas saring atau pada ujung jari.Bersihkan ujung pipet dengan kertas non absorbent. Lakukan dengan cepat dan hati-hati
2.      Larutan pengencer Leukosit disedot kedalam pipet sampai garisbatas 101 batas bola, dengan demikian diproleh pengenceran 1:200.
3.      Kocok pipet pengencer selama 3 menit yaitu dengan menempatkan pipet ini mendatar antaraibu jari dengan dengan jari tengah. Kedua jari I ni menyambung ujung-ujung pippet, kemudian pegelangan tangan membentuk gerakan  seperempat lingkaran (membentuk angka 8)
4.      Buang cairan yang tidak mengandung Leukosit 2 – 3 tetes.
5.      Isikan kedalam ruang hitung yang sudah ada cover glasnya kemudian diamkan be berapa menit untuk pengendapan selnya.
6.      Periksa dibawah mikroskop dengan perbesaran obyektip 10 X. 
7.      Hitung semua Leukosit  yang terdapat dalam bidang kecil R1, R2, R3, R4 dan R5
8.      Penghitungan dimulai dari sudut kiri ke atas, terus kekanan kemudian turun ke bawah dan mulain lagi dari kanan kekiri.
9.      Sel-sel yang menyinggung garis batas sebelah atas dan kiri ikut dihitung, sebaliknya sel-sel yang menyinggung garis batas sebelah bawah dan kanan tidak ikut dihitung.



Gambar 3.

Kamar Hitung Neurbaur.






Keterangan
W =Sel darah putih
R  =Sel Darah Merah
Contoh perhitungan sel darah putih diperoleh saat pemeriksaan di kamar hitung:
-          Kiri atas            (RI)        =25
-          Kiri bawah       (R4)        =25
-          Kanan atas      (R2)         =25
-          Kanan bawah  (R3)         =25
-          Tengah             (R5)        =25
Sel yang terhitung           =125
Perhitungan:
Pemgenceran 200 X
Sel yang terhitung x 10 (0,1 mm dalam) x 5 (1/5 dari 1 mm³) x 200 (1 : 200) = Jumlah Leukosit / mm³.

3.2.3.      Variabel Yang Diamati Adalah:
         Jumlah antara telur Cacing Haemonchus sp. dengan jumlah Sel darah putih dan PCV

3.3. Analisis Data
        Untuk menghitung antara jumlah telur cacing Haemonchus sp. dengan jumlah Sel darah putih dan PCV  pada kambing Kacang maka digunakan rumus analisis regresi linear sederhana sebagai berikut:
Y = a + b X
Dimana:
Y = Subyek dalam variable dependen yang dprediksikan
A = Harga Y bila X = 0 (harga konstan)
B = Angka arah / koefisien regresi, yang menunjukkan angka penigkatan ataupun penurunan variable dependen yang didasarkan pada variable independen. Bila b  (+) maka terjadi kenaikan jumlah telur cacing, dan bila  (-) maka terjadi penurunan.
X = Subyek pada variable independen yang menpunyai nilai tertentu.


DAFTAR PUSTA

Akhmad Sodik, MSC. AGR., dan Zainal Abidin. 2002. Kambing Peranakan Etawa Susu. C.et. I. Agro Media Pustaka. . Jakarta.
Albers, G.A.A. and LeJambre, L.F. 1983. Erythrocyte potassium concentration:a simple parameter for erythropoiesis in Goatbinfectad with Haemonchus contortus. Research in Veterinary Science, 35:275-276.
Altaif, K.I.  and J.D. Dargie.1978a. Genetic resistance to helminthes.  The influence of breed and hemoglobin type on the response of Goat to re-infection with Haemonchus contortus. Parasitology, 77:161-175.
Angus, M.D. 1978. Veterinary Helminthology. II ed. London. Pp 184.
Arifin, C. dan Soedarmono. 1982. Parasit ternak dan cara-cara pnanggulangannya. P.T. Penebar Swadaya, Jakarta hal 7-11.
Arifin, M.Z. 1982. Pengaruh infestasi Haemonchus contortus (Rudolphi, 1803) Pada gambaran darah Kambing lokal. Tesis. FPS-IPB.
Ayalew, L. and Murphy, B.E.P. 1986. In vitrodemonstration of in utero larval development in an opivarous parasitic nematode: Haemonchus ontortus. Parasitology, 93:371-381.
Banks, A.W. 1958. Epidemiology of helminth infection in Goat. South Australian aspects. Austral. Vet.J.34:20-26.
Blood, D.C.and J.A. Henderson. 1979. Veterinary Medicine.IV ed. Bailliere Tindall and Cassell Ltd. London.pp. 642-645.
Beriajaya. 1986. Pengaruh albendazole terhadap infeksi cacing nemattoda saluran pencernaan pada kambing local di daerah Cirebon. Balai Penelitian Veteriner, Bogor. Hal 54-57.
Buerno, L;  A. Dakkak and J. Fioramonti. 1982. Gastro-duodenal and transit disturbances associated with Haemonchus contortus infection in Goat. Parasitology 84:367-374.
Chotiah, Siti. 1983. Penyidikan infestasi Haemonchus contortus. Pada sapi, kerbau, kambing dan domba di lampung tengah dan lampung selatan. Laporan tahunan hasil penyidikan penyakit hewan di Indonesia perode tahun 1981-1982. Direktorat Kesehatan Hewan, Ditjennak, Deptan, Jakarta. Hal. 15-23.
Clark, P.R. 1977. Animal Parasitism. Prentice-hall of India Private Limited. New Delhi. Pp 113.
Courtney, C.H; C.F. Parker; K.F. McClure and R.P. Herd. 1985. Resistence exotic and domestic lambs to experimental infection with Haemonchus contortus. Parasitology 15:101-109.
Dakkak, A; J. Fioramonti: L. Bueno. 1981. Haemonchus contortus third stage larvae in  goat:kinetics of arrival into the abomasum and transformation during rumino-omasal transit. Research in Veterinary Science 31 :384-385.
Dargie, J.D. 1973. In Helminth Diseases of cattle, goat and horse  in Europa. University Press, Glasgow.
Dargie, J.D. and E.W.  Allonby. 1975. Pathophysiology of single and challenge  infections of Haemonchus contortus in Merino goat;studies on red cell kinetics and the “self cure” phenomenon. International Journal for Parasitology 5:147-157.
Direktorat Jenderal Peternakan. 1974. Evaluasi pengamanan ternak Pelita I. Direktorat Kesehatan Hewan, Deptan. Jakarta.
Eysker, M. 1979. The Possible Fate of Crystal Harbouring Larvae of  Haemonchus contortus. Research im Veterinary Science 26: 115-116.
Faust, E.C. and P.F. Russell. 1971. Craig and Faust’sParasitology. 8th ed. Lea and  Febriger, Philadelphia.pp 320-322.
Ganong, W.F. 1979. Fisiologi Kedokteran (review of medical physiology) ed 9. Lange Medical Publication.pp 443-509.
Gibson, T.E. 1963. The Influence of nutrition on the relationship between gastro-intestinal parasites and their host. Proceeding of the Nutrition Society 22:15-20.
Gordon, H. McL. 1948b. The Epidemiology of Parasitic Disease, with Special Refrence to Studies with Nematode Parasites of Goat. Austral. Vet. J.24:17-44.
[Anonim (a)]. 2008. The Merck Veterinary Manual. Http://www.merck.co.inc.    [22 April 2008].
Bandeira-Melo C, P Bozza, P Waller. 2002. The Cellular biology of eosinofil eicosanoid formation and function. J Allergy Clin Immunol 109: (3): 393-400. PMID 11897981. [22 April 2013].
Cahyono B. 1998. Beternak kambing dan domba. Yogya: Kanisius.
Cohen, Stephen, Ricard C Burns. Pathways of the Pulp. 8th Edition Edition. St. Louis: Mosby, Inc. 2002. Page 465. [22 april 2013].
[Cornel University]. 1996. Clinical Pathologi section – NYS Animal Health Diagnostic Laboratory. http://www.popmed. Vet.Cornell.edu.htm. [23 Desember 2013]
[Cornell University]. 1996. Clinical Pathology Section-modules lymphocyte.
[Cornell University].1996. Clinical Pathology Section-monocyte. Http://www.diaglab.vet.cornell.edu/clinpath/modules/heme 1 monocyte.htmm. [23 Desember 2013].
[Cornell University]. 1996. Clinical Pathology Section -  Modules neutrofil.
[Cornell University]. 1996.  Clinical Pathology Section – Mpodules eosinofhil.
[Cornell University]. 1996. Clinical Pathology Section – Modules basofhil
Delmann HD, Brown EM. 1992. Histologi Veteriner. Edisi ketiga. Jakarta: UI Press.
Dellmann HD, Jo Ann Eurell. 1998. Textbook of Veterinary Histology. Carrol Cann, editor. Lippincot Williams & Wilkins.
Dunn P. 1994. Goat Keepers Veterinary book. USA: Farming Press.
Effendi Zukesti. 2003. Peranan leukosit sebagai AntiInflamasi Alergik dalam Tubuh
 Sumatra Utara: Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatra Utara. http://www.liberary.usu.ac.id. [23 Desember 2013].
Frandson R.D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. B. Srigandono dan Koen Praseno, penerjemah; Yogyakarta : Gadjah Mada Univ Press. Terjemahan dari: Anatomy and  Physiology of Farm Animals.
Foster Race, Marthy Smith, Hooly Nash. 2013. Complete Blood Count.
http://www.pteducation.com. [23 Desember 2013].
[Guelph Univercity]. 2013. AHL User’s Guide – Hematology Refrence Intervals.
Gall C. 1981. Goat Production. New York acedemik Press INC LTD.
Ganong WF. 1999. Fsiology Kedokteran. Edisi ke-17. Adji Dharma, Penerjemah.
ECG. Jakatta : Penerbit Buku Kedokteran, ECG. Jakarta. Terjemahan dari : Review of Med8ical Physiology.
Guyton AC. 1997. Buku ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Irawati Setiawan,
Penerjemah. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran, ECG. Jakarta : TextBook of Medical Physiology.
Hartono. 1989. Histologi Veteriner. Pusat antar Universitas. IPB.
Haen PJ. 1995. Principles of Hematology. Harris L, editor. Chicago : Loyola Marymont Univercity. Wm. C. brown Publisher.
Horiuchi T, P Waller. 1997. Expression of fascular endothelial Growth factor by human eosinofhils: upregulation by granulacyte macrophage colony stimulating factor and interleukin-5. Am J Respir Cell Mol Biol 17 (1): 70-7.PMID 9224211. [23 Desember 2013]
Jain NC. 1993. Essential of Veterinary Hmatology. USA : Lea and Fabiger.
Jansson Leif. 2013. Semeser 4 lectures medice. Uppsala Univercity. [23 Desember 2013]
Junqueira Lcarrlos. 1997. Basic Histology. 8th edition.
Jiang N, NS Tan, B Ho, JL Ding. 2007 respiratory protein-generated reactive oxygen species as an antimicrobial strategy. Nature Immunology. PMID 17721536. [23 Desember 2013].
Janeway, Charles, Paul Travers, Mark Walport, Mark Chlomchik. 2001. Immunobiology; Fifth Edition. New York and London: Gerland Science.
ISBN 0-8153-4101-6. [23 Desember 2013]
Kato Y et al. Leukotriene D4 induces production of transforming growth factor-beta 1 by eosinofhils. Int Arch Allergy Immunol 137 Supple 1: 17-20. PMID 15947480. [23 Desember 2013].
Lancraft, M Thomas. 2013. Cardiovascular system (Blood).
Lubis S. 1993. Diferensiasi leukosit pada infeksi eimeria tenela dengan sediaan ulasdarah tipis. [Skripsi]. Bogor: Fakultas kedokteran Hewan , Institut Pertanian Bogor.
Maton, Anthea et al human biology and healt. Englewood Cliffts, New Jersey,
USA: Prentice Hall. ISBN 0-13-981176-1. [23 Desembr 2013].
Macer VJ. 2003.Veterinary Clinical Laboratory Technique.
Metcal FD. 2013. Leukosit. http://www.en. Anonim.org. [23 Desember 2013].
Metcalf D, C Begley, N Nicola, G Johnson.1987. Quantitative responsiveness of
Murine hemopoeitic populations in vitro and in vivo to recombinant multi-CSF (IL-3). Exp Hematol 15 (3): 288-95. PMID 3493174. [23 desember 2013]
Mayer DJ, Coles EH and Rich LJ. 1992. Veterinary Laboratory Interpretation and Diagnosis. WB Saunders Company, Philadelphia.
Mayer DJ, Jhon W. Harvey. 2004. Veterinary Laboratory Interpretation and Diagnosis. 3th Edition. WB Saunders Company, Philadelphia.
Movat H.Z et al. 1965. Platelat Phagositosis and Aggregation. Journal of Cell Biology 27: 531-543 [23 Desember 2013].
Nordenson NJ. 2002. Whit Blood Cell Count and Differential.
Rothenberg M, Hogan S. The eosinophil. Annu Rev Immunol 24: 147-74. PMID
16551246. [23 Desembeer 2013].
Saito K, Nagata M, Kikuchi I, Sakamoto Y. 2004. Leukotriene D4 and eosinophil transendothelial migration, superoxide generation, and degranulation via beta2 integrin. Ann Allergy Asthma Immunol 93 (6): 594-600. PMID
15609771. [23 Desember 2013].
Sastradipradja D. et al. 1989. Penuntun Peraktikum Fisiologi Veteriner. Pusat Antara Universitas. IPB.
Shi H. 2004. Eosinophil function as antigen-presenting cell. J Leukoc Biol 76 (3): 520-7.PMID 15218055. [23 Desember 2013].
Swenson MJ. 1984. Duke’s   physiology of Domestik Animal. 10th Edition. Cornell University Press, Ithaca and London.
Swenson MJ. 1984, Reece WO. 1993. Duke’s Physiology of Domestik Animal. 7th Edition Cornell University Press, Ithaca and London.
Swenson J Malvin, William RO. 1993. Duke’s Physiology of Domestik Animal. 11th Edition. Cornell University Press, Ithaca and London.
Tizard I 1982. Pengantar Immunologi veteriner. Surabaya: Airlangga University Press.
Tizard I. 1988. Pengantar Immunologi veteriner. Surabaya: Airlangga University Press.
Trulson A, Bystrom J, Engstrom A, Larsson R, Venge P. 2007. The functional heterogeneity of eosinophil cationic is determinate by a gene polymorphism and post-translation modification. Clin Exp Allergy 37 (2): 208-18. PMID

7250693. [23 Desember 2013].